Tidak mudah menjadi orang tua saat ini, dimana kita harus bersaing dengan aneka media elektronik yang mengasikkan, dari TV plus program TV cablenya yang asik-asik, PS yang awalnya kami teguh tidak mau membelikan tapi dihadiahi kawan dekat karena Vikra juara kelas, belum lagi aktifitas non sekolah yang penting untuk mereka, seperti kursus bahasa Inggris di EF seminggu 2-3 kali. Lalu kursus music/piano yang kami pertahankan karena mereka kelihatannya ada bakat, sayang kalau tidak dikembangkan. Belum lagi sederet acara dengan sobat-sobatnya yang mengasikkan. Maklum ABG!.
Tapi apakah akan kita biarkan anak-anak hanya menjadi konsumen sasaran atau korban industri media ini? Kapan anak kita menjadi subjek yang akal budinya musti bekerja dan berefleksi sesederhana apapun? Menulis adalah media anak untuk mengunyah pengalaman hidup mereka dengan menguntai kata.
Vikra suka menulis, tapi masalahnya sangat moody. Vinda? Kami tercengang waktu kelas IV SD, kami lihat buku mengarang dia, rupanya karangannya tidak berbanding dengan prestasi akademik dia yang lumayan. Tulisannya kering dan pendek sekali. Tentu bakat anak masing-masing...tapi mendorong mereka untuk mengoptimalkan kemampuan tentu nomor satu. Ini "perjuangan"kami untuk mendorong anak-anak mau menulis.
1. Membelikan buku diary. Sejak kecil mereka tahu huruf, sebenernya sudah kami belikan buku diary. Sampai sekarang, Vinda terutama, rajin sekali beli buku diary yang buagus-buagus dan merayu akan rajin menulis. Tapi apa yang terjadi? Isi diarynya kosong, tapi raknya penuh dengan buku diary cantik-cantik..Ampunn!! Tapi waktu kecil 4-7 tahunan, dia relatif rajin, terutama pas saat marah, dia akan memasukkan nama-nama kita dalam black list diarynya. Sampai kalau mau berbuat salah sama dia,kami saling mengingatkan: "äwas lho dimasukin diary".
2. Membuat Mading (majalah dinding) dirumah. Idenya, biar gambar, puisi, lirik atau tulisan mereka bisa dipajang disitu. Intinya semua karya mereka ditempel, termasuk nilai bagus mereka ditempel? Nilai jelek?? he..he...mereke cerita agak malu-malu biasanya, tapi mereka kami dorong untuk terbuka walaupun itu dapat nilai nol. Jadi kami bisa tahu bagaimana kami harus membantu.
3. Satu tulisan Rp 5000-Rp 10.000: Ini dimulai dari Vikra yang hobi ngeband dan pengeluaran dia cukup besar. Jadi kami negö : Kakak boleh minta extra budget asal menyerahkan artikel. Kalau artikel ringan 5000, kalau yang scientific atau panjang 10 ribu. Deal!! Tapi, ini memunculkan masalah juga, karena Vinda yang agak hemat dan nggak sebanyak pengeluaran kakaknya jadi merasa aman dan tidak perlu menulis! Tapi lama-lama terstimulasi juga. Tapi satu paragraf dia sudah ngitung-ngitung, yang membuat kami merasa terkejar hutang tiap bangun pagi :). Satu misi dibalik kebijakan ini juga untuk mengajari mereka "membuat uang, bukan untuk memakai uang" saja!
4. Memanfaatkan mudahnya teknologi: Walaupun ada laptop, ada komputer..selalu saja ada alasan mereka untuk menghindar tidak menulis. Yang jelas laptop historis ayah (apple yang dibeli di Amrik) sudah jadi korban, rusak karena kami bawa travelling buat anak-anak nulis (skr dibetulkan lagi di Jogja). Kalau dirumah, kami biasanya langsung menyodorkan laptop atau membukakan komputer dengan open dokumen yang membuat mereka tinggal ngetik. Tapi kadang kami melirik situasi dulu, memastikan semua memungkinkan (mereka tidak capek, tidak ditengah asik bermain/nonton, kecuali nontonnya udah kelamaan). Biasanya begini, walaupun mereka bersungut-sungut sambil ngeluh nggak mood, atau ini itu, tapi bangun juga. Buat Vinda siap-siap di celetukin bilang maksa atau apa.... Untuk alasan kepraktisan, kami juga biarkan anak-anak ketik via sms, dan di upload kemudian.
5. Blog sebagai mading mereka: Vikra sudah canggih mengupload sendiri ke blog termasuk foto-foto dan layout, tapi masih pakai account ayah/ibu. Karya Vinda biasanya kakak atau ayah ibu yang upload. Untuk foto-foto kebanyakan ibu (kalau pas di Leiden, karena internetnya cepat).
6. Mulai dari tema-tema ringan yang mereka suka: Kami setelah trip biasanya tanya atau pembagian tugas informal, siapa menulis apa, berdasarkan interst mereka. Vikra Vinda suka kuliner. Vikra juga suka binatang atau menangkap aspek-aspek human. Ibu soal yang reflektif dan kultural/estetik. Kalau ayah gado-gado...
7. Biarkan apa adanya: Kami selalu tampilkan tulisan mereka apa adanya. Karena ini juga penting untuk mereka sebagai rekaman pada usianya. Karena tulisan ini ibarat diary..jadi kami biarkan subjeknya muncul, walaupun hurufnya salah-salah, atau hurufnya sesuka mereka, kalimatnya disingkat-singkat, gaya sms atau gaya nulisnya formal. Kami tidak mengedit sedikitpun!!
8. Editor? Kritikus? Lalu bagaimana anak belajar dari kesalahan atau kata lain bagaimana belajar menulis yang baik? Biasanya Vinda akan bersungut-sungut kalau habis menulis ayahnya lupa kasih kompliment. Jago memberi kompliment ibu !...tapi ayah adalah kritikus dan editor yang te o pe alias top!..setelah mereka nulis, kita publish, baru kadang-kadang kami diskusikan. Ayahnya sebagai editor profesional, akan kasih masukan A-Z... Tetapi bukan Vikra Vinda kalau nggak gantian ngritik atau protest...
Yunich1@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar