Levina: Dibalik Layar Kaca dan Dinding Rumah

Leiden, 1 Maret 2007

Tulisan ini dibuat untuk merespon temen-temen di milist yang nggak sensitif atau bahkan menyalahkan wafatnya pahlawan berita yang sedang meliput dan tewas menemani tenggelamnya kapal Levina 22 Feb 07 di perairan Tj.Priok.

"Temens, beginilah nasib kerja didunia pers. Suamiku gak jauh beda (walaupun dia tidak lagi turun langsung di lapangan setiap harinya), tapi sebagai newsproducer/koordinator liputan, dia salah satu orang yang dibelakang layar ikut mendiskusikan/menentukan berita apa dan menugaskan kepada siapa peliputan itu. Tapi kadang-kadang untuk liputan luar negeri, terutama Middle East, kadang masih turun juga, mungkin karena suamiku dianggap ngerti bahasa Arab dan ngerti soal Islam/politik middle east.

Sebelnya, kompetisi antara media sangat tajam, ukuran broadcast media adalah "gambar" atau visual!!. Jadi berita TV dianggap gagal kalau tidak ada gambar bagus dan musti cepat! Kalau keduanya tersedia baru dianggap exclusive. Menyebalkan!! Suamiku sering stress dengan ini, karena dia juga punya idealisme bahwa seminar-seminar yang mencerdaskan juga mesti diliput, tapi kalau tidak ada gambar bagus, narasumber canggih atau statement kontroversial, sering dianggap tidak competitive untuk meng-attract pasar. Dalam banyak kasus didaerah, sering sekali jurnalis lokalnya sudah sampai lapangan, tapi mobil SNG (Satelit News Gathering)nya belum nyampai, juga akan rumit. Memang bisa juga pakai video manual, tapi gambar dikirim lewat pesawat akan lambat atau kalau mengandalkan internet koneksinya juga kadang putus-putus. Makanya kwalitas gambar jelek juga akan bermasalah. Jadi tayangan yang hanya beberapa detik, yang kadang-kadang masih kita hujat dan kritik..dibelakangnya bercucur peluh luar biasa.
Aku sebagai istrinya pernah ngalami tiap hari suami pulang jam setengah dua malam (terutama waktu masih pegang acara malam di salah satu TV berita 5 tahun lalu), anak-anak seminggu ketemu ayahnya hanya beberapa menit karena ketlisipan waktu (untuk kasus ini aku sering ngrayu, nego, ngeyel biar jadwal dibikin variatif, jadi biar ada kesempatan layak ketemu keluarga dan juga sempat mengistirahatkan diri). Kadang kita juga gak tega atau ikut gemes suami pulang kesal karena capek-capek ngirim tim keduluan beritanya oleh TV lain atau berita dicancel hanya gara-gara pemilik TVnya berfikir sangat politis dengan preferensi suka tidak suka terhadap liputan lawan politik/bisnisnya.

Aku bisa bayangin kematian kawan-kawan kasus Levina itu nyaris seperti yang aku rasakan waktu suamiku mau meliput perang Libanon. Dia antusias, karena untuk urusan Middle East dia memang tertantang untuk mendalami, apalagi ke wilayah perang, itu pengalaman penting buatnya. Kebayang kan, suami mau ke medan perang? Aku bantu menjahitkan baju antipeluru yang dipinjam dari tentara biar netral tidak berloreng . Persoalan berikutnya, pihak investor tidak setuju dengan policy redaksi untuk ngirim tim ke Lebanon ini karena costly, tapi redaksi maunya memberangkatkan untuk pamor rating news. Debat tentang asuransi untuk ke perang jadi lama karena interest kapital itu. Aku ngotot! Aku nggak membolehkan suami berangkat tanpa asuransi untuk dirinya atau keluarganya. Walaupun kalau boleh memilih aku memilih gak usah berurusan dengan asuransi tapi suamiku ada, ketimbang berapa milyarpun asuransi tapi beresiko. Aku ngotot karena aku cuma mikir anak dan adik-adik suamiku incase aku terhalang bekerja karena kesehatan, padahal harus membesarkan mereka sendiri kalau sampai terjadi sesuatu. Kebetulan kedua orang tua suamiku sudah wafat, jadi praktis kami jadi pengganti orang tua bagi adik-adik.

Akhirnya salah satu dari redaksi siap menjamin dengan uang pribadinya, walaupun pihak perusahaan masih berdiskusi. Aku ikut memprovokasi istri dari TV lain yang juga harus ke Libanon untuk memastikan haknya kalau sampai terjadi resiko paling buruk. Selain itu juga membantu nguatin hati istri kawanku ini biar relax karena itu resiko profesi. Jadi terasa perjuangan privat dan publiknya waktu itu. Betul saja..jantungku naik turun menyaksikan tayangan live dari libanon, ngikutin trip nyebrang dari Syria Lebanon mengejar sebelum jam malam (karena Israel akan nembak mobil yang lewat diatas jam tertentu). Pernah ada tempat yang barusan dia liput, sejam kemudian dibomb. Pernah juga terjebak malam disuatu kota yang lagi black out, mati total karena habis digempur dan dia tidak dapat hotel, padahal jam malam hampir tiba. Soal-soal updating nyawa begini, hanya istri yang tahu. Anak-anak aku biarin tidur tenang walaupun aku nggak bisa memicingkan mata, padahal itu sudah jam 2 pagi di Indonesia. Dan pasti team suamiku yang di Indonesia mungkin lagi nyaman-nyamannya tidur dibalik selimut hangat dan tinggal nunggu berita exclusif, exclusif dan exclusif dengan gambar yang heboh dan nggak peduli nyawa.

Kadang baru tenang dikit karena gencatan senjata, dikejutkan lagi dengan berita wartawan Amerika ditawan di Libanon..oh my God! Aku jadi rajin doa juga..dan janji, suamiku pulang aku harus bikin syukuran! Cerita deg-degan lain, pas aku di leiden, suami sms harus berangkat ke Irak dengan tim di kantornya untuk handle penyelamatan Mutia Hafid dan Budi yang ditawan di Iraq, padahal aku disini. Langsung lemes rasanya. Tapi gak berselang lama ada sms susulan, nggak jadi. Aku yang lagi lewat di Redlight area (Zeedijk/area turistik untuk prostitusi di Amsterdam, karena kalau dari stasiun ke UVA, kalau mau deket lewat area ini). Persis pas di red light ini aku langsung sujud syukur ditengah jalan! Serius!!!

Jadi ini sekilas dibalik industri media yang rupanya ada wajah dan hati dibalik layar kacanya yang dengan mudah sekali kita pencet pakai remote sambil bermanja disofa lembut, lalu diseling dengan makan popcorn atau menyeruput cappuccino...

Yunich1@yahoo.com

Tidak ada komentar: