" Pilih gih kita kembaran". Begitu seorang sobat dokter memanjakan ingin belikan sesuatu yang lumayan berharga untuk kembaran. " Enggak ah!! malas pakai uang panas" ibu nyeletuk semau sendiri karena memang sudah berkarib banget. "Enggak! enggak! enak aja!! ambil, ini pakai uang sendiri tau!!". Begitu tangkis sobat dokter ini yang kalau ke Jakarta selalu dimanjakan oleh perusahaan obat dan diservis full oleh detailer (sales obat). Belum lagi sobat dokter yang lain cerita mau ke Australia dengan tiket gratis..tiss..diservis sama perusahaan obat. Belum lagi segudang cerita dari sobat dan kerabat tentang betapa besarnya perusahaan obat memanjakan dokter-dokter ini.
Lalu dibebankan kepada siapa biaya-biaya itu? Pasti jawaban super gampangnya, ya ke siapa lagi kalau bukan ke pasien. Akhirnya jadi semacam hobi, dokter-dokter kita paling rajin kasih list panjang obat ke pasien, dan si pasien yang lugu akan beli dengan aneka rasa. Ada yang merasa obat mahal artinya manjur, ada yang gampang buka dompet yang penting keyakinan sembuh, ada yang beli seperempatnya, ada yang nengok kanan kiri menelan ludah pedih memasukkan resep kekantung dan pulang bingung harus ke siapa hutang untuk menebus obat-obat itu.
Kemarin ibu sibuk milihin tumpukan obat dirumah yang sudah expire dan ayah googling untuk ngechek spesifikasi obat-obat itu. Bener-bener stumpuk. Padahal kami termasuk yang berusaha ceriwis kalau ke dokter. Saat dokter nulis resep selalu ngecek obat apa saja dengan beberapa pertanyaan dan permintaan penting:
1. Dok, ibu/kakak alergi pynicilin, sulfa
2. Apakah emang harus dikasih anti biotik? Kalau dikasih yang rendah aja dosisnya..juga obat-obat lain kami minta dosis rendah deh.
3. Ini obat apa aja dok? Kami bilang ke mereka, dirumah masih punya obat yang sejenis (jadi nggak perlu ditebus atau tinggal nambahin beberapa saja).
4. Kami minta ngedrop obat-obatan yang bersifat analgesic (penghilang rasa sakit, karena tidak menyembuhkan tapi cuma mengaburkan rasa saja) atau vitamin-vitamin... kami tanya, perlu banget nggak? atau bilang dirumah masih ada...
5. Tidak jarang kami minta yang generik..
Ya memang tidak selalu detail seperti diatas, karena juga tidak semua obat yang kita punya dari sisa berobat sebelumnya kita ingat.Tentu kalau anti biotik harus dihabiskan, tetapi obat penawar-penawar dan vitamin nggak selalu kami minum.
Mafia obat di Indonesia ini berbanding terbalik dengan di Belanda dimana dokter sangat pelit dengan obat. Pernah waktu sakit batuk dan flu serius....dokter bersikukuh tidak kasih anti biotik karena mereka ingin tubuh kita membentuk antibody sendiri. Karena kalau kebanyakan anti biotik apalagi minumnya tidak tuntas dan teratur, bisa bikin resistensi...
Duh..sedih dan seremnya obat dan mafianisasi dibalik butir-butir pil itu... gimana ya memintarkan hak pasien dan menghatikan dokter...
3 komentar:
Siiip Yun, aku setuju banget tuh. Ini juga pernah aku diskusi panjang dengan sahabatku dokter.Aku juga minta advis dari kang Cecep, biar tambah shohih, termasuk tulisanmu ini, aku rekom untuk dibuka. Tapi rasanya sulit Yun, ini sudah "belukar", entah mau diurai dari mana. Aku sdh sarankan pada sahabatku untuk memulai tidak menerima komisi dari farmasi.Tapi mungkin hanya dianggap angin lalu.Rasanya mereka takkan kelaparan jika tak menerima komisi deh!!! Sementara begitu banyak orang yang menemui ajal krn tak mampu berobat karena harga obat yang selangit.Tapi jika alasan ini yg kita utarakan,mereka bisa berkilah "Kan ada askeskin".Opo ora ilo? Kok tega-teganya ya?
(Yuni, ini email sahabatku)
saya sdh baca mengenai obat...memang bisa jadi oo..bad..kalau perilaku
spt itu. Saya sdh copy dan rencana saya akan teruskan ke teman2
setidaknya bisa menjadi bahan koreksi.
Upaya utk perbaikan sdh kita mulai, meski mungkin blm nampak hasilnya
tapi setidaknya sdh ada kemauan dan perlu disusul mgkn dgn aturan2.
Thanks utk info yg sangat bermanfaat ini.
Hi..hi..thank komen-nya say...kita punya concern yang sama. Thank dah njalarin ke network sobat-sobat doktermu.... memprihatinkan ye!! yu-CH
Posting Komentar