Menghirup udara Maastricht - Breda

Ini cerita hari Minggu jalan dengan sobat seperjuangan Sandra Moniaga (Viva manggilnya tante Sandra) yang lagi sama-sama terengah-engah nyelesaiin disertasi. Tapi minggu ya harus break!! Tadinya mau ke tempat kawan yang habis menikah di Eindhoven, tapi akhirnya memutuskan ke Maastricht dan pulangnya ke Breda nengok ponakannya yang ultah dan keluarga besarnya. Diatas adalah foto suasana Maastricht, wilayah berbukit Belanda Selatan, arah tenggara dari Leiden. Kalau hari biasa, ke Maastrich tiketnya 40,60 euro, kebetulan ada tiket anbieding (sale) 14 euro untuk seharian mau kemanapun di Belanda. jadi murah banget kan?

Ini gereja Basiliek van sint servaas (saint Servatius) salah satu icon Maastricht dengan serambi Vrijthof square yang sedang punya gawe menggelar summer festifal makanan Preuvenemint setiap 27-31 Agustus di kota ini. Suasananya seperti pasar Tongtong. Kami mengelilingi gereja klasik ini, dan tak sengaja dibalik gereja ini tante Sandra menemukan susteran Carolus Boromeus, tempat tinggal suster mantan kepala sekolahnya yang tadinya ingin kami kunjungi. Kami persis didepan pintunya. Sayang ini bukan Indonesia yang mengetuk dan spontan dibuka. Disini harus janjian dulu, lagipula susternya sedang sakit sepuh yang sulit untuk menerima tamu.

Istirahat sebentar ke warkop (kerennya kafe), capek jalan, pingin capuccino dan meramahi perut yang belum sarapan. Wafel jadi pilihan, karena ini khas limburg-Maastricht selain pie-nya. Kita ngafe ini didepan gereja yang direcom teman karena gereja ini sudah disulap menjadi toko buku yang besar dan asik....sayang nyaris buku-bukunya bahasa Belanda semua. Hampir mbeliin buku music kakak, tapi kayaknya di Leiden juga ada. Tapi yang menarik, gereja jadi toko buku, rumah Tuhan tidak untuk nunduk-nunduk menyembah Tuhan saja, tapi umat harus cerdas dan pintar, jadi Tuhan mengalah...


Suasana dalam gua Sint Pietersberg, gua buatan penambang yang mengkorek perut gunung menjadi lorong-lorong seperti liang semut. Tinggi gua ini sekitar 10-12 meter, lebar antara 3-4 meter. Ini menarik, mengambil batu alam tanpa memugar gunung seperti yang kita lihat di Palimanan atau Lamongan yang tergerogoti tiap hari dan tahu-tahu gunung lenyap. Para penambang membiarkan 30 meter permukaan gunung utuh menyembul tak tersentuh. Didalam gua banyak lukisan amatir atau tulisan yang mentattoo dinding, salah satunya konon huruf yang dibuat raja Batak. Informasi dan atraksinya luar biasa. Guide melucu tapi cerdas menjelaskan dengan data-data scintifik. Lalu pengunjung diajak beradventure, si guide menyembunyikan lampu, lalu meminta pengunjung memejam mata dalam gulita, meminta tangan kiri menyentuh dinidng, berjalan dan selalu ikuti belokan kiri. Wah..serem banget, kebayang ada binatang di dinding, atau tiba-tiba tertabrak dan ditabrak benda atau kawan kita...ujung-ujungnya cuma berputar...


Ini jembatan Sint Servaasbrug jembatan tua Maastrict. Dari tepi sungai Maas-boulevard ini bisa naik kapal Rederijk Stiphoud menuju St Pietersberg gua raksana diatas. Jembatan ini sudah tidak dipakai mobil, khusus untuk jalan kaki. Beginilah cara Belanda mengkonservasi sejarah. Jadi paralel dengan jembatan ini, dibangun Wilhelmina bridge yang kokoh, modern, ramping yang dari kejauhan seperti busur panah untuk jembatan yang lazim..











Nyampai Breda sudah ada Leonie/Onie, ponakan tante Sandra dengan 2 ikat bunga buah tangan ala Belanda untuk 2 keluarga mereka yang mau dikunjungi. Yang juga asik, Onie sudah menggenggam ice capuccino dingin yang dipesan tante Sandra untuk orang yang lagi ngidam sejak sejam lalu...sedaaap. Hangat sekali cengkerama dengan keluarga besar Manado-Belanda ini, rasanya langsung merasa menjadi bagian dari mereka. Kami main kerumah tante Tilly dan suaminya Om Hans Bolte yang masak macem-macem, ada ayam goreng kesukaan Onie yang lagi ultah, ada lodeh ala Jawa yang pas banget, ikan Cakalang Manado, tahu-tempe, kentang kacang kering, dan tak ketinggalan chap cai Kak Regi. Semua yang terhidang sedap dan nikmat...pulang rasanya masih nempel di lidah. Makasih banyak.


Sebelum ke Stasiun diantar tante Tilly mampir ke sepupu tante Sandra, tante Lieke ibunya kak Regi, yang masih cantik dan rapi. Setelah itu, segera kembali ke Leiden dan kembali ke chapter. Bedank tante Sandra to have this nice idea...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

weleh weleh... hebat nih... ditengah kepusingan menulis
disertasi udah sempat upload foto dan narasi dari perjalanan kita ke
maastricht ke blogspot!!! ruar biasa... thanks yun..

nama sepupu gw: tilly, suaminya hans bolte. satu lagi lieke, onie
spellingnya onie atau leonie...

terus basilika di maastricht: basilica of saint servatius atau basiliek
van sint servaas. kalau susteran namanya susteran carolus boromeus. gua
yang kita pergi: sint pietersberg...

itju... tengkyu.. tengkyu...