all pictures taken from google images
Serabi atau srabi adalah makanan khas Surakarta, jadi bisa kita dapati di sudut-sudut kota Solo atau wilayah kota-kota kecil Surakarta lain, termasuk kampung ibu di Baturetno. Dipojok perempatan Baturetno, pagi-pagi nikmat sekali menunggu antrian mengililing tungku srabi, melihat kecekatan dan konsentrasi pedagangnya memastikan puluhan wajan serabi tidak gosong. Serabi ini terbuat dari tepung beras, gula, pandan , santan dan toppingnya ditambah inti santan. Kalau di Solo kota, yang paling terkenal adalah Serabi Notosuman, Vikra suka sekali, dan dia menyebutnya Serabi Noyorono. Di Pasar modern BSD juga sudah ada sekarang. Serabi ini bisa tahan 24 jam asal dikemas tidak saat panas, jadi kalau naik pesawat kami berani bawa oleh-oleh ini ke Jakarta. Teksturnya lembut, padat dan mengakhiri sisi tengah dengan santan kental dan rasa manis ringan... cantik rasanya.
Nasi liwet adalah cara khas orang Jawa (non pisisir kayaknya) untuk menanak nasi, dengan menggunakan kendil. Kendil panci diatas dari baja tebal untuk menstabilkan suhu panasnya. Seni bikin liwet ini adalah memastikan kalori karbohidratnya tidak menguap karena sejak awal tidak ada sedikitpun air yang dibuang, kecuali mau bikin Tajin (air beras untuk susu tipu-tipu keluarga proletar pada masa dulu). Sehingga kecermatan estimasi air dan berasnya musti pas, dan disini kunci nikmatnya, kenapa nasi liwet menjadi harum, karena terkungkung panas dan aromanya sejak awal. Nasi liwet menghasilkan dua produk makanan, selain nasinya yang bisa lezat dicampur dengan side dish/lauk pauk lodeh labu, bacem, telur pindang, krecek kulit pedas, liwet ini juga menghasilkan
Intip atau kerak nasi yang menempel didasar kendil. Cara memisahkannya, segera letakkan sisi luar kendil panas kedalam air , dan pasti mudah terkelupas. Lalu kerak ini dijemur dan digoreng menjadi snack lezat. Uyut uti Nduwet (ibunya akung) rajin bikin intip ini dan buat oleh-oleh ke cucu-cucunya. Intip ini sekarang sudah dibuat lebih massive dan jadi oleh-oleh khas Solo, Vinda menyebutnya "helm".
Ampyang, gula kacang yang bisa kita dapati di banyak tempat. Tapi ampyang kampung ibu bisa juga dari irisan kelapa sebagai pengganti kacang, dibentuk lempeng atau bulat dan bisa dari gula Jawa dan gula pasir/putih yang diberi pewarna merah jambu yang ranum. Gula Jawa? lucu juga ya...ini penakhlukan dan labelling Jawa terhadap gula merah/palm sugar.
Tengkleng, ini makanan favorit ayah. Bisa mudah didapati dari pedagang keliling (pakai sepeda atau digendong, lengkap dengan tungku penghangatnya), kalau di Solo kota yang terkenal dekat pasar klewer katanya. Kalau di terminal Wonogiri di pojokan bis Jakartanan (arah Jakarta). Gulai ini dari kikil, tapi kalau Solo agak manis dikit dan tidak pakai rempah....jadi lebih ringan dan tidak mahteh (tidak neg).
Jamu gendong, ini adalah icon kampung ibu. Sehat dan menyegarkan. Tinggal nunggu di teras, tukang jamu lewat hilir mudik, mau pagi atau siang juga ada. Bahkan tetangga sebelah rumah akung (lik Sumini-Sidal), juga penjual jamu, sampai dulu jam 4 pagi, bunyi mereka ndeplok/menumbuk jamu seperti weker pembangun pagi para tetangga.
Makanan lain kalau lewat atau pulang ke Gedawung Baturetno yang nggak boleh ketinggalan:
1. Jangan lombok , ini makanan rumahan, sejenis lodeh, tapi 50 % cabe. Cara mengiris cabenya juga butuh skill tinggi, karena tidak pakai alas, cukup dipegang tangkai kecil cabenya dan diiris menyerong dengan cekatan. Serem kalau tidak terbiasa. Jangan (sayur) lombok ini bisa dicampur dengan tempe, kacang panjang-terong, atau ati dll. Yang bikin sedep adalah tambahan bumbu tempe bosok (busuk), tempe yang difermentasi berlebih dan jamburnya justeru postif mengandung antibiotik kata sebuah artikel. Bude Kaptin adalah pemasak jangan lombok yang top, selalu mengantar semangkok kalau ibu pulang...Sedap habis!! Masakan rumahan lain, oseng-oseng tempe (uti yang sekarang, enak banget kalau bikin oseng-oseng), botok mlanding (petai China), bongko gode (sejenis botok dari kacang ungu khas kampung ibu), ayam bumbu rujak (uti almarhumah selalu bikin spesial ayam ini terutama kalau bulan puasa, semacam balado, tapi banyak daun jeruk dan serainya), trancam (urap mentahan), bobor (lodeh dengan tempe busuk, yang canggih masak ini mbah Niti, pembantunya uyut), oseng buah pepaya mentah, dll... Daun kenikir, beluntas dan kembang Turi atau bunga pisang juga bisa jadi sayuran lezat dan sehat di kampung ibu.
2. Pecel mbah Tumiyem (utara MIM TanjungAnom gedawung), masih pakai bungkus daun Jati dan ini sudah generasi kedua. Omacan hobi ngiras (makan ditempat) didapur mbah Tumiyem ini.
3. Sate masak : Baturetno adalah kota kecil penghubung jalan nadi Solo Pacitan, jadi kotanya hidup 24 jam, dan penunggu malam ini adalah pedagang sate bakar atau sate masak yang sangat terkenal. Nyaris semua rasanya standard antara satu penjual dengan penjual lain. Sate masak, apa itu? Mirip tongseng, tapi lebih pekat hitam dan tanpa sayuran. Ladanya extra sehingga merasuk nikmat ke daging. Dulu uti almarhumah sering menambah lauk makan malam dengan sate masak ini, dan ibu yang sering disuruh beli dan harus bilang : "meniko utusanipun bu Bardus"(bahasa Kromo artinya: ini orderan uti ...halah-halah.... emang kalau dibilang utusan uti dapat apa ya? Kayaknya juga tidak lebih banyak, atau mungkin dipilihin daging yang lebih bagus atau sekedar untuk menyenangkan penjualnya saja).
4. Sego kuning (nasi) dengan gudeg kuning Giriwoyo atau mbok Dayat tengah pasar Baturetno. Dulu nasinya dikepal gulung sebesar bola pingpong dan dibungkus/pincuk dengan daun Jati. Gudeng Mbatu (cara menyebut Baturetno) ini pakai kluwih (sejenis nangka muda tapi lain), pepaya muda dan jerohan ayam yang dibungkus daun pisang dan ikut dimasak didalamnya. tentu ayam kampung, telur, tahu, tempe ikut masuk dalam kuali raksasanya ini. Huhhhh mantavvvv rasanya..
5. Warung Kimpling dan bu dayat (nasi ramesan), timur jalan sebelum dan sesudah perempatan Baturetno kalau dari arah Solo. Juga ada tahu kupat (ketupat) disepanjang jalan itu. Ayah, omacan habi malam-malam cari makanan ini...selain juga ada hek (warung gerobak dorong dengan lampu senthir remang tapi makannya enak-enak)
6. Sego thiwul sambel bawang: nasi thiwul ini dari ubi semacam kus-kus makanan Maroko, cara biknnya rumit, ketela singkong ( casava) dikelupas, dijemur dan jadi gaplek. Dari gaplek ini juga bisa dibuat snack Gathot kalau diiris dan dikuku, atau kalau ditumbuk, diguyeng (camur air sedikit untuk membuat putiran pasir, lalu dikukus. Gaplek adalah makanan tradisional yang dulu untuk masyarakat minus, tapi sekarang terjadi transisi eksotisme of Thiwul, yang bisa kita dapati di hotel sekalipun. Thiwul ini yang khas disantap dengan sambal bawang. sambal bawang ini terbuat dari cabe rawit merah 10, bawang sesiung, garam, jelantah/minyak goreng bekas yang masih panas. Lalu pilih lauk suka-suka, mau gorengan atau ikan, dll, dan pakai lalapan timun atau kol....Yang paling enak warung menu ini di desa berat Giriwoyo (forgot the precise name, will let you know soon).
6. Jajanan pasar/oleh-oleh khas lain: tempe kripik yang besarnya bisa seperti tegel (20 x 20 cm), brem (sari tape) berbentuk lempengan coin besar, jenang sumsum, jenang grendul (bubur biji salak), dan jenang pati garut (sari umbi Garut), dan godril (kwaci mini dari pohon trembesi). Bravo Baturetno... Viva Gedawung....