“Kamu harus pindah. Biar jadi manusia.”
Abduh Hisyam, salah satu aktifis Formaci, setelah lebih 20 tahun, masih ingat kata-kata itu. Suatu pagi, kata Abduh, ayahnya datang dari Tegal. Pak Hisyam Adnan, ayah Abduh adalah tokoh Muhammadiyah dan pengusaha terkenal di Tegal. Saya sendiri, yang tinggal bersama Abduh, bersama beberapa rekan lain (ada Saiful Mujani, Jajat Burhanudin, Muhammad Fauzi, Muhammad Dahlan, Fauni Hidayat), tidak ingat lagi kedatangan ayahnya Abduh itu. Ayah si Abduh datang pagi-pagi. Jadi, pasti kami semua masih tidur. Dalam kondisi normal, kantor yang juga menjadi asrama bersama ini bener-bener berantakan. Apalagi di pagi hari!
Yang disebut kantor yang berfungsi sekaligus asrama Formaci ini, waktu itu, terletak di sebuah gang sempit, di belakang Asrama Putri IAIN. Kalau gak salah, untuk bangunan sederhana, tiga kamar, plus ruang tamu cukup lega ini, kami cukup bayar Rp 600 ribu untuk satu tahun. Itu di tahun-tahun 1989-1992 an. Tapi, tetap murah meriah. Kami tidak peduli dengan kusen yang sudah mulai lapuk. Lantai plesteran, tanpa keramik. Hingga kamar mandi gelap, dan tidak berpintu!! Lagipula, perilaku penghuninya juga lebih parah. Hidup bersih, paling hanya berlaku buat satu dua orang. Sisanya, barbarian! Ngerendem cucian misalnya, bisa berbulan-bulan. Bayangkan baunya! Ada penghuni yang tinggal di situ bertahun-tahun, tidak pernah sekalipun pegang sapu. Ada penghuni yang gara-gara kebelet dan wc dipakai orang, “tega” buang hajat di perpustakaan!! Jadi, pantas kalo ayah si abduh geram. “Kamu harus pindah, biar jadi manusia!” (Berlanjut..... by ayah)....
Dilanjut ibu, Cerita ayah diatas, sepenggal dari gaya hidup bebas merdeka, jorok bersahaja teman-teman lingkaran Formaci yang sekarang sudah relatif banyak yang "menjadi seseorang". Sebagai kelompok study, formaci cukup unik...Ini kumpulan pertemanan yang kohesif tapi kompetitif, kumpulan mahasiswa/i yang kritis dan super PD. Bayangkan minum kopi segelas rame-rame, lalu gelasnya dipakai buat abu rokok lagi rame-rame. Tetapi kerap juga Formaci jadi ajang kompetisi, ada yang saling jatuh cinta pada bidikan yang sama, sehingga saling berstrategi untuk menjadi pemenangnya. Sampai ada satu ungkapan dari seseorang yang merasa masa lalunya terkalahkan," Formaci..lambangcinta nan lara", padahal modal sudah habis-habisan tapi gagal maning gagal maning...
Beberapa gelintir adalah anak-anak tokoh feodal dari daerahnya, yang coba bunuh diri kelas dengan bergaya bohemian, begitu kami menyebutnya saat itu. Tapi kebanyakan memang teman-teman yang bermodal pas-pasan untuk bisa survive di Jakarta. Jadi banyak dari kami yang jualan buku, jadi panitia seminar, nulis di koran jurnal sana sini, membantu nulis skripsi, dll. Hebatnya perut rela lapar, ketimbang tidak beli buku atau memfoto copy buku-buku penting bahasa inggris yang setebal bantal. Kerap para dosen diledek karena dibalap melahab bacaan ini itu. Dosen juga sering disebut nama saja, dan mereka ikhlas karena memang menurut mereka mahasiswa-i Formaci ini nyata kwalitasnya di kelas. Bahkan ada dosen plagiat yang pakai tulisan anak Formaci dan diaku karyanya.
Penggodokan intelektual cukup serius, bayangkan kami bikin diskusi sahur, lalu malam juga sampai larut hingga jam 11 malam, diskusi dari teori-teori sosiologi, filsafat, Islam dan aneka buku-buku yang membangun kesadaran kritis. Narasumbernya dari kami sendiri secara bergilir, siapapun boleh buka program, tetapi yang paling leading sebagai pemula adalah Ichsan Ali Fauzi, Saiful Mujani dan Budhi Munawar Rahman. Tapi sering juga kami menculik narasumber-narasumber yang berkibar saat itu dengan imbalan gratis bahkan dapat bonus pulang bisa sakit perut karena menahan buang air besar karena urung masuk WC formaci yang super jorok. Tapi herannya para penghuni bisa betah berpuluh menit membaca koran dalam sangkar maut itu.
Kehadiran Formaci cukup dianggap mengguncang eksistensi organisasi Mahasiswa saat itu terutama HMI. Dari ide membubarkan Kohati yang dianggap membodohkan perempuan, sampai munculnya arogansi bahwa orang-orang HMI terjebak pada aktivisme (tukang aktivis). Formaci juga meleburkan sekat antar organisasi mahasiswa, siapapun boleh gabung, bahkan ketua Formaci tidak masalah saat pernah dipegang aktivis IMM (ci-ayah). Progresifitas Formaci tidak hanya sampai disitu, tetapi ada yang nekad, pernah perempuan jadi imam sholat terawih,dan itu 15 tahun sebelum Ameena Wadud melakukannya di Amerika. Berlanjut...
Abduh Hisyam, salah satu aktifis Formaci, setelah lebih 20 tahun, masih ingat kata-kata itu. Suatu pagi, kata Abduh, ayahnya datang dari Tegal. Pak Hisyam Adnan, ayah Abduh adalah tokoh Muhammadiyah dan pengusaha terkenal di Tegal. Saya sendiri, yang tinggal bersama Abduh, bersama beberapa rekan lain (ada Saiful Mujani, Jajat Burhanudin, Muhammad Fauzi, Muhammad Dahlan, Fauni Hidayat), tidak ingat lagi kedatangan ayahnya Abduh itu. Ayah si Abduh datang pagi-pagi. Jadi, pasti kami semua masih tidur. Dalam kondisi normal, kantor yang juga menjadi asrama bersama ini bener-bener berantakan. Apalagi di pagi hari!
Yang disebut kantor yang berfungsi sekaligus asrama Formaci ini, waktu itu, terletak di sebuah gang sempit, di belakang Asrama Putri IAIN. Kalau gak salah, untuk bangunan sederhana, tiga kamar, plus ruang tamu cukup lega ini, kami cukup bayar Rp 600 ribu untuk satu tahun. Itu di tahun-tahun 1989-1992 an. Tapi, tetap murah meriah. Kami tidak peduli dengan kusen yang sudah mulai lapuk. Lantai plesteran, tanpa keramik. Hingga kamar mandi gelap, dan tidak berpintu!! Lagipula, perilaku penghuninya juga lebih parah. Hidup bersih, paling hanya berlaku buat satu dua orang. Sisanya, barbarian! Ngerendem cucian misalnya, bisa berbulan-bulan. Bayangkan baunya! Ada penghuni yang tinggal di situ bertahun-tahun, tidak pernah sekalipun pegang sapu. Ada penghuni yang gara-gara kebelet dan wc dipakai orang, “tega” buang hajat di perpustakaan!! Jadi, pantas kalo ayah si abduh geram. “Kamu harus pindah, biar jadi manusia!” (Berlanjut..... by ayah)....
Dilanjut ibu, Cerita ayah diatas, sepenggal dari gaya hidup bebas merdeka, jorok bersahaja teman-teman lingkaran Formaci yang sekarang sudah relatif banyak yang "menjadi seseorang". Sebagai kelompok study, formaci cukup unik...Ini kumpulan pertemanan yang kohesif tapi kompetitif, kumpulan mahasiswa/i yang kritis dan super PD. Bayangkan minum kopi segelas rame-rame, lalu gelasnya dipakai buat abu rokok lagi rame-rame. Tetapi kerap juga Formaci jadi ajang kompetisi, ada yang saling jatuh cinta pada bidikan yang sama, sehingga saling berstrategi untuk menjadi pemenangnya. Sampai ada satu ungkapan dari seseorang yang merasa masa lalunya terkalahkan," Formaci..lambangcinta nan lara", padahal modal sudah habis-habisan tapi gagal maning gagal maning...
Beberapa gelintir adalah anak-anak tokoh feodal dari daerahnya, yang coba bunuh diri kelas dengan bergaya bohemian, begitu kami menyebutnya saat itu. Tapi kebanyakan memang teman-teman yang bermodal pas-pasan untuk bisa survive di Jakarta. Jadi banyak dari kami yang jualan buku, jadi panitia seminar, nulis di koran jurnal sana sini, membantu nulis skripsi, dll. Hebatnya perut rela lapar, ketimbang tidak beli buku atau memfoto copy buku-buku penting bahasa inggris yang setebal bantal. Kerap para dosen diledek karena dibalap melahab bacaan ini itu. Dosen juga sering disebut nama saja, dan mereka ikhlas karena memang menurut mereka mahasiswa-i Formaci ini nyata kwalitasnya di kelas. Bahkan ada dosen plagiat yang pakai tulisan anak Formaci dan diaku karyanya.
Penggodokan intelektual cukup serius, bayangkan kami bikin diskusi sahur, lalu malam juga sampai larut hingga jam 11 malam, diskusi dari teori-teori sosiologi, filsafat, Islam dan aneka buku-buku yang membangun kesadaran kritis. Narasumbernya dari kami sendiri secara bergilir, siapapun boleh buka program, tetapi yang paling leading sebagai pemula adalah Ichsan Ali Fauzi, Saiful Mujani dan Budhi Munawar Rahman. Tapi sering juga kami menculik narasumber-narasumber yang berkibar saat itu dengan imbalan gratis bahkan dapat bonus pulang bisa sakit perut karena menahan buang air besar karena urung masuk WC formaci yang super jorok. Tapi herannya para penghuni bisa betah berpuluh menit membaca koran dalam sangkar maut itu.
Kehadiran Formaci cukup dianggap mengguncang eksistensi organisasi Mahasiswa saat itu terutama HMI. Dari ide membubarkan Kohati yang dianggap membodohkan perempuan, sampai munculnya arogansi bahwa orang-orang HMI terjebak pada aktivisme (tukang aktivis). Formaci juga meleburkan sekat antar organisasi mahasiswa, siapapun boleh gabung, bahkan ketua Formaci tidak masalah saat pernah dipegang aktivis IMM (ci-ayah). Progresifitas Formaci tidak hanya sampai disitu, tetapi ada yang nekad, pernah perempuan jadi imam sholat terawih,dan itu 15 tahun sebelum Ameena Wadud melakukannya di Amerika. Berlanjut...
1 komentar:
Mantappsss...
Posting Komentar