Dalam 2 hari ini dapat 2 kabar duka, pertama Michael jackson sang legendaris dan satu lagi pakde Narto seorang manusia biasa (kakak uti almarhumah). Kematian adalah peristiwa natural bagai digit-digit pasti, tetapi banyak hayatan-hayatan hidup yang menarik diserap dari keduanya.
Michael Jackson sangat mengesan dengan perjuangan anti rasisme dia dengan menjadikan tubuhnya sebagai experimen dari hitam ke putih dan dengan radikal dia bilang: "warna kulit bisa dibuat, tetapi kenapa warna manusia harus dibedakan?". Satu ungkapan menariknya lagi bahwa manusia bisa mati tetapi berkarya melalui musik, sang artis tidak pernah mati. Hilang tubuhnya, tetapi karyanya akan abadi sepanjang hayatnya".
Lalu kalau pakde Narto? Sekilas tak ada yang istemewa, tetapi bagi ibu dan keluarga, pakde narto punya keunikan luar biasa. Pakde memang bukan ritualis, beliau bahkan titik tertentu mempraktekkan hal-hal yang secara sosio religious tidak diterima. Tetapi sebagai ayah dan suami pakde cukup serius, putra-putrinya relatif dimapankan, yang pertama sekolah dan kuliah di univ idola, yang kedua jadi pilot, ketiga melanjutkan bisnis keluarga (pemilik bis) salah satu kota di Jateng dan yang keempat wiraswasta.
Pakde adalah manusia tulen Jawa, pencinta wayang, sahabat karib Ki Manteb Oye..dalang terkenal. Kalau ada hajat wayang di Semarang, pakde nyaris yang selalu diminta menjadi "perantara" dan rumah pakde selalu jadi tempat transit sebelum manggung. Sampai-sampai bude tahu makanan kesukaan manteb dan istri-istrinya.salah satunya lele. Saking deketnya dengan Manteb pas reuni keluarga besar trah Hatmopawiro (uyut), ki Manteb sendiri datang untuk ndalang memeriahkan acara keluarga ini sebagai wujud kedekatan dengan pakde.
Pakde bude memang selalu membuka rumahnya untuk sobat dan kerabat2 dari kampung. Paling tidak waktu akung sakit jaman ibu kecil dan juga jaman ibu operasi amandel, rumah pakde selalu jadi transit berminggu-minggu selama opname di Semarang. Karena kebetulan pakde sebagai pejabat di salah satu RS dan dosen di Semarang. Sehingga kami selalu merasa tentrem kalau di handle pakde.
Makanya kalau pulang kampung, uti selalu menyambut pakde sebagai tamu spesial. Siap-siap deh ibu diponggal-panggil: "nduk, pakde rawuh, kamar tamu ditoto sing rijik, seprei ijo bordir dipasang, anduk anyar dicaose pakde (pakde datang, kamar tamu ditata yang rapi, seprei bordir hijau dipasang dan pakde disiapin handuk baru". Setelah mandi sore siap-siap ada tugas lanjutan dari uti: Nduk, mundut sate masak karo sate bakar neng nggone kembar dinggo dahar pakde, matur utusane bu Bardus (Sana beli sate kuah dan sate bakar di warung makan kembar, bilang pesanan bu Bardus)". Sampai sekarang ibu nggak faham kenapa diakhir kalimat kalau order beli ini itu uti selalu harus bilang "ini utusan bu Bardus", mungkin pedagang-pedagang itu terhanyut sama keramahan uti jadi uti yakin akan ditambah sesuatu yang plus.
Saat kecil, hal lain yang mengesan dari pakde, selalu kalau pakde pulang kampung, jelang pulang ke Semarang, pakde mencari ibu untuk disangoni (dikasih uang sayang). Jumlahnya Rp 100-500 rupiah uang kertas baru. Pada masa kecil ibu uang segitu serasa terima uang 50-300 ribu jaman sekarang. Pernah ibu lagi buang air besar, pakde manggil-manggil dan ibu belang "injih pakde, mangke rumiyin", kirain pakde sudah berangkat ke Semarang karena bus Rino sudah beberapa kali mengklakson dan kedengaran sampai Gedawung. Tetapi pas ibu keluar rupanya pakde masih nunggu, hanya untuk salaman, ngusap kepala dan ngasih uang baru 500an. Peristiwa ini mengesan sekali sampai sekarang.
Sampai kami berkeluarga pakde bude juga menganggap kami sebagai anaknya, untuk ikut memikirkan salah satu putra beliau yang perlu diajak diskusi saat dianggap punya masalah. Juga saat putra keduanya mau menikah di Jakarta, nyaris rumah gang jambu mau jadi tempat transit rombongan dari Semarang dan kampung (tapi tidak jadi karena besan menyediakan guest house). Yang jelas pakde 3 tahun melawan sakit pengerasan hati dan 2 hari lalu jam 4 sore pakde diberitakan pergi selamanya. Langsung ibu cabut lagi ke Semarang padahal baru 3 hari balik dari Solo. Kata ayah yang habis sakit: "kalau ayah nggak habis cuti lama, pasti ayah akan berangkat. Kalau sehat, bagusnya berangkat, nanti ayah anterin cari kendaraan". Ya udah, bismillah...rasanya marem/puas bisa datang ke Semarang memberi penghargaan terakhir, paling tidak mewakili uti almarhumah yang selalu penuh bakti pada beliau.
Michael Jackson sangat mengesan dengan perjuangan anti rasisme dia dengan menjadikan tubuhnya sebagai experimen dari hitam ke putih dan dengan radikal dia bilang: "warna kulit bisa dibuat, tetapi kenapa warna manusia harus dibedakan?". Satu ungkapan menariknya lagi bahwa manusia bisa mati tetapi berkarya melalui musik, sang artis tidak pernah mati. Hilang tubuhnya, tetapi karyanya akan abadi sepanjang hayatnya".
Lalu kalau pakde Narto? Sekilas tak ada yang istemewa, tetapi bagi ibu dan keluarga, pakde narto punya keunikan luar biasa. Pakde memang bukan ritualis, beliau bahkan titik tertentu mempraktekkan hal-hal yang secara sosio religious tidak diterima. Tetapi sebagai ayah dan suami pakde cukup serius, putra-putrinya relatif dimapankan, yang pertama sekolah dan kuliah di univ idola, yang kedua jadi pilot, ketiga melanjutkan bisnis keluarga (pemilik bis) salah satu kota di Jateng dan yang keempat wiraswasta.
Pakde adalah manusia tulen Jawa, pencinta wayang, sahabat karib Ki Manteb Oye..dalang terkenal. Kalau ada hajat wayang di Semarang, pakde nyaris yang selalu diminta menjadi "perantara" dan rumah pakde selalu jadi tempat transit sebelum manggung. Sampai-sampai bude tahu makanan kesukaan manteb dan istri-istrinya.salah satunya lele. Saking deketnya dengan Manteb pas reuni keluarga besar trah Hatmopawiro (uyut), ki Manteb sendiri datang untuk ndalang memeriahkan acara keluarga ini sebagai wujud kedekatan dengan pakde.
Pakde bude memang selalu membuka rumahnya untuk sobat dan kerabat2 dari kampung. Paling tidak waktu akung sakit jaman ibu kecil dan juga jaman ibu operasi amandel, rumah pakde selalu jadi transit berminggu-minggu selama opname di Semarang. Karena kebetulan pakde sebagai pejabat di salah satu RS dan dosen di Semarang. Sehingga kami selalu merasa tentrem kalau di handle pakde.
Makanya kalau pulang kampung, uti selalu menyambut pakde sebagai tamu spesial. Siap-siap deh ibu diponggal-panggil: "nduk, pakde rawuh, kamar tamu ditoto sing rijik, seprei ijo bordir dipasang, anduk anyar dicaose pakde (pakde datang, kamar tamu ditata yang rapi, seprei bordir hijau dipasang dan pakde disiapin handuk baru". Setelah mandi sore siap-siap ada tugas lanjutan dari uti: Nduk, mundut sate masak karo sate bakar neng nggone kembar dinggo dahar pakde, matur utusane bu Bardus (Sana beli sate kuah dan sate bakar di warung makan kembar, bilang pesanan bu Bardus)". Sampai sekarang ibu nggak faham kenapa diakhir kalimat kalau order beli ini itu uti selalu harus bilang "ini utusan bu Bardus", mungkin pedagang-pedagang itu terhanyut sama keramahan uti jadi uti yakin akan ditambah sesuatu yang plus.
Saat kecil, hal lain yang mengesan dari pakde, selalu kalau pakde pulang kampung, jelang pulang ke Semarang, pakde mencari ibu untuk disangoni (dikasih uang sayang). Jumlahnya Rp 100-500 rupiah uang kertas baru. Pada masa kecil ibu uang segitu serasa terima uang 50-300 ribu jaman sekarang. Pernah ibu lagi buang air besar, pakde manggil-manggil dan ibu belang "injih pakde, mangke rumiyin", kirain pakde sudah berangkat ke Semarang karena bus Rino sudah beberapa kali mengklakson dan kedengaran sampai Gedawung. Tetapi pas ibu keluar rupanya pakde masih nunggu, hanya untuk salaman, ngusap kepala dan ngasih uang baru 500an. Peristiwa ini mengesan sekali sampai sekarang.
Sampai kami berkeluarga pakde bude juga menganggap kami sebagai anaknya, untuk ikut memikirkan salah satu putra beliau yang perlu diajak diskusi saat dianggap punya masalah. Juga saat putra keduanya mau menikah di Jakarta, nyaris rumah gang jambu mau jadi tempat transit rombongan dari Semarang dan kampung (tapi tidak jadi karena besan menyediakan guest house). Yang jelas pakde 3 tahun melawan sakit pengerasan hati dan 2 hari lalu jam 4 sore pakde diberitakan pergi selamanya. Langsung ibu cabut lagi ke Semarang padahal baru 3 hari balik dari Solo. Kata ayah yang habis sakit: "kalau ayah nggak habis cuti lama, pasti ayah akan berangkat. Kalau sehat, bagusnya berangkat, nanti ayah anterin cari kendaraan". Ya udah, bismillah...rasanya marem/puas bisa datang ke Semarang memberi penghargaan terakhir, paling tidak mewakili uti almarhumah yang selalu penuh bakti pada beliau.
Sugeng tindak pakde...juga untuk Jacko..both of you trully coloring the world.
* Foto dg jacko diatas waktu "ketemu"di Museum Madame Tussoud Amsterdam.
1 komentar:
sama dong.. saya jg ketemu Jacko di Madame Tussoud, tp yg di Hongkong..
sempet duet pula :P
Posting Komentar