"Jember (jijik) bener mau bantuin dia naik-naik ojek. Pas tahu dia kena HIP (HIV), langsung deh tuh baju yang saya pakai, saya buang, daripada disimpan entar malah ketularan. Tetangga-tetangga juga pada takut-takut nengok, yang pada ngontrak samping-samping dia juga pada pindah”.
Ini salah satu penggalan kalimat seorang ibu-ibu yang berbaik hati habis ngantar mantan tetangga yang baru ketahuan menderita HIV; 30an tahun, masih muda dan dari keluarga yang amat sangat tidak mampu. Menurut cerita para pengantar, si dokter memulai dengan pertanyaan: “ kamu kerja di salon ya....kamu anak nakal ya..berhubungan sejenis ya?”. Cara jari-jari dokter memeriksa juga dengan expresi penuh jijik, yang membuat penderitanya bertanya: “saya sakit apa sih?”.
Pas saat ngobrol dengan beberapa tetangga penderita ini, ada yang nambahin: “ itu kan kutukan Tuhan, mestinya tobat. Kayaknya dia udah dari dulu sakitnya, ketularan pacarnya, ama cowok juga orang Batak, pulang ke Medan langsung meninggal. Dari dulu dia suka ngrebus daun sirih, pinang, katanya sih kena alergi”. Suara lain lagi bilang: “ Habis kalau dapat duit buat main cowok sih, makanya emaknya bilang..udah elu sakit aja..kalau elu sembuh kan elu marahin gue melulu. Emaknya ini setia banget, lukanya dikasih abu anget, dikasih ramuan daun-daun”.
Penderita ini kami kenal, pernah menjadi tetangga saat kami tinggal di sebuah tempat, dan keluarga ini juga yang selalu kami taruh dalam top list saat kami berbagi rejeki sedikit untuk zakat atau kebetulan saat berulang tahun. Kaget tapi tidak heran saat dengar salah satu anaknya terkena penyakit ini. Mau tutup mata rasanya mata Tuhan marah karena kita kok bisa tidur lelap sementara orang yang kita kenal merintih meregang nyawa dan membiarkan orang lain menderita. Tetapi mau dibantu juga bingung. Yang pertama kami lakukan menengok, itu pasti! Agak maju mundur juga saat mau nengok karena dengar-dengar luka-luka di kulitnya sudah terbuka. Akhirnya bismillah nengok, dengan suara bergetar dia mengeluh: mbak Yuniii…sakitt..ini jari-jari kaki-tangan kayak ditusuk jarum. Batuk juga sakittt…mbak Yunii..”. Duh dengar nama kita dipanggil beberapa kali rasanya menguatkan tekad, harus bantu sesuatu. Kok bisa sih orang menderita gini malah pada sibuk bikin list dosa-dosanya. Tapi bantu apa ya? Oke, Paling tidak membukakan akses! Karena akses ini yang mahal!!.
Coba telp sobat karib dokter yang juga ahli HIVaids dan doctor tropical disease dari Belanda juga. Kontak beberapa channel, dan juga kebetulan ada kawan dari dinas kesehatan depok yang punya jiwa aktifis, dalam arti gesit dan perspektifnya humanis.
Rupanya membantu sedikit menangani penderita HIV memang tidak sederhana, saat mau turun tangan membantu membukakan akses ke PKBI, Pelita Ilmu, dinas Kesehatan setempat, tetangga2 penderita ini bilang: “ nanti kalau penderitanya tahu kena HI-Pe (HIV) entar malah dia bunuh diri mbak, gimana?”. Sementara pihak tetangga menjauh, pihak keluarga juga tidak solid apalagi rentannya anggota keluarga yang potensial tertular penyakit penyertanya. Kalau HIV aids sendiri tidak mudah menular. Sampai-sampai seorang kolega harus kami telp untuk menjelaskan ke tetangga si penderita ini.Diluar kepala teman yg biasa memberi penyuluhan ttg HIV-aids meyakinkan pada tetangga sekitarnya : “ Pokoknya orang HIV jangan dijauhi, malah harus didukung. Itu menular melalui hubungan seksual atau melalui cairan lain macam jarum suntik. Salaman nggak apa-apa, makan sepiring juga nggak apa-apa”. Mendengar penjelasan ini, para tetangga ini agak lega, tetapi tetap susah kalau harus mengantar.Dari kawan dari dinkes ini juga dapat akses info bisa dibawa ke RSCM gratis. Tapi syaratnya..panjang juga.
Akhirnya ayah ibu coba kordinasi dg RT dan kawan dari dinas kesehatan, lalu juga minta tetangga dekat yang care untuk membantu bagaimana bisa membawanya ke RS Cipto yang konon ada tempat khusus untuk ODA (Orang Dengan Aids). “ Tapi nanti jangan-jangan bayar ini itu, kadang dibilang gratis, tapi bayar-bayar juga. Apalagi kalo harus bolak-balik RSCM kan susah transportnya. Orang mau beliin ceker 3 biji aja emaknya gak punya uang. Makanya saya kasih 3 ribu”. Begitu ungkapan tetangganya menghawatirkan kalau sampai dibawa ke RSCM.
Bismillah aja pokoknya.... harapan sembuh kecil, tetapi si penderita merasa ada yang peduli itu lebih penting. Peristiwa ini mengingatkan pada salah satu informan saat penelitian dulu, penderita HIV-aids yang diduga tertular saat jadi TKW di Arab. Habis ngobrol panjang hampir seharian, makan berdua di warung, merasa menjadi sahabat..dan saat pulang dia memeluk dan menangis : mbak…apa ini pertemuan terakhir kita? Aku udah tambah lemah mbak”. Air matanya meleleh banyak mengenai pundak ibu....agak gundah karena takut cairan itu meresap ke pori2. Ahh...apa Tuhan sebodoh itu membuat penyakit mematikan sedemikian mudah menular? Dimana kamu sekarang Nur? Coba kulacak tapi tak terlacak..."Nur, Kamu tidak layak dikutuk..kamu butuh dipeluk".
Ini salah satu penggalan kalimat seorang ibu-ibu yang berbaik hati habis ngantar mantan tetangga yang baru ketahuan menderita HIV; 30an tahun, masih muda dan dari keluarga yang amat sangat tidak mampu. Menurut cerita para pengantar, si dokter memulai dengan pertanyaan: “ kamu kerja di salon ya....kamu anak nakal ya..berhubungan sejenis ya?”. Cara jari-jari dokter memeriksa juga dengan expresi penuh jijik, yang membuat penderitanya bertanya: “saya sakit apa sih?”.
Pas saat ngobrol dengan beberapa tetangga penderita ini, ada yang nambahin: “ itu kan kutukan Tuhan, mestinya tobat. Kayaknya dia udah dari dulu sakitnya, ketularan pacarnya, ama cowok juga orang Batak, pulang ke Medan langsung meninggal. Dari dulu dia suka ngrebus daun sirih, pinang, katanya sih kena alergi”. Suara lain lagi bilang: “ Habis kalau dapat duit buat main cowok sih, makanya emaknya bilang..udah elu sakit aja..kalau elu sembuh kan elu marahin gue melulu. Emaknya ini setia banget, lukanya dikasih abu anget, dikasih ramuan daun-daun”.
Penderita ini kami kenal, pernah menjadi tetangga saat kami tinggal di sebuah tempat, dan keluarga ini juga yang selalu kami taruh dalam top list saat kami berbagi rejeki sedikit untuk zakat atau kebetulan saat berulang tahun. Kaget tapi tidak heran saat dengar salah satu anaknya terkena penyakit ini. Mau tutup mata rasanya mata Tuhan marah karena kita kok bisa tidur lelap sementara orang yang kita kenal merintih meregang nyawa dan membiarkan orang lain menderita. Tetapi mau dibantu juga bingung. Yang pertama kami lakukan menengok, itu pasti! Agak maju mundur juga saat mau nengok karena dengar-dengar luka-luka di kulitnya sudah terbuka. Akhirnya bismillah nengok, dengan suara bergetar dia mengeluh: mbak Yuniii…sakitt..ini jari-jari kaki-tangan kayak ditusuk jarum. Batuk juga sakittt…mbak Yunii..”. Duh dengar nama kita dipanggil beberapa kali rasanya menguatkan tekad, harus bantu sesuatu. Kok bisa sih orang menderita gini malah pada sibuk bikin list dosa-dosanya. Tapi bantu apa ya? Oke, Paling tidak membukakan akses! Karena akses ini yang mahal!!.
Coba telp sobat karib dokter yang juga ahli HIVaids dan doctor tropical disease dari Belanda juga. Kontak beberapa channel, dan juga kebetulan ada kawan dari dinas kesehatan depok yang punya jiwa aktifis, dalam arti gesit dan perspektifnya humanis.
Rupanya membantu sedikit menangani penderita HIV memang tidak sederhana, saat mau turun tangan membantu membukakan akses ke PKBI, Pelita Ilmu, dinas Kesehatan setempat, tetangga2 penderita ini bilang: “ nanti kalau penderitanya tahu kena HI-Pe (HIV) entar malah dia bunuh diri mbak, gimana?”. Sementara pihak tetangga menjauh, pihak keluarga juga tidak solid apalagi rentannya anggota keluarga yang potensial tertular penyakit penyertanya. Kalau HIV aids sendiri tidak mudah menular. Sampai-sampai seorang kolega harus kami telp untuk menjelaskan ke tetangga si penderita ini.Diluar kepala teman yg biasa memberi penyuluhan ttg HIV-aids meyakinkan pada tetangga sekitarnya : “ Pokoknya orang HIV jangan dijauhi, malah harus didukung. Itu menular melalui hubungan seksual atau melalui cairan lain macam jarum suntik. Salaman nggak apa-apa, makan sepiring juga nggak apa-apa”. Mendengar penjelasan ini, para tetangga ini agak lega, tetapi tetap susah kalau harus mengantar.Dari kawan dari dinkes ini juga dapat akses info bisa dibawa ke RSCM gratis. Tapi syaratnya..panjang juga.
Akhirnya ayah ibu coba kordinasi dg RT dan kawan dari dinas kesehatan, lalu juga minta tetangga dekat yang care untuk membantu bagaimana bisa membawanya ke RS Cipto yang konon ada tempat khusus untuk ODA (Orang Dengan Aids). “ Tapi nanti jangan-jangan bayar ini itu, kadang dibilang gratis, tapi bayar-bayar juga. Apalagi kalo harus bolak-balik RSCM kan susah transportnya. Orang mau beliin ceker 3 biji aja emaknya gak punya uang. Makanya saya kasih 3 ribu”. Begitu ungkapan tetangganya menghawatirkan kalau sampai dibawa ke RSCM.
Bismillah aja pokoknya.... harapan sembuh kecil, tetapi si penderita merasa ada yang peduli itu lebih penting. Peristiwa ini mengingatkan pada salah satu informan saat penelitian dulu, penderita HIV-aids yang diduga tertular saat jadi TKW di Arab. Habis ngobrol panjang hampir seharian, makan berdua di warung, merasa menjadi sahabat..dan saat pulang dia memeluk dan menangis : mbak…apa ini pertemuan terakhir kita? Aku udah tambah lemah mbak”. Air matanya meleleh banyak mengenai pundak ibu....agak gundah karena takut cairan itu meresap ke pori2. Ahh...apa Tuhan sebodoh itu membuat penyakit mematikan sedemikian mudah menular? Dimana kamu sekarang Nur? Coba kulacak tapi tak terlacak..."Nur, Kamu tidak layak dikutuk..kamu butuh dipeluk".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar