" Man jadda wajada, man saaro'ala ddarbi washola..lengkap dengan artinya: barangsiapa bersungguh-sungguh pasti dapat, dan barangsiapa berjalan diatas jalannya pasti sampai". 2 mahfudot (kata mutiara) itu kami tulis di mading kamar mandi. Jangan-jangan ada yang komentar, tulisan Arab kok di kamar mandi. Kenapa orang nggak bisa bedain ayat Qur'an dengan bahasa Arab ya. Lanjut lagi, ceritanya kami punya 2 mading (majalan dinding), satu disekitar kamar anak untuk naruh karya anak-anak dan info-info penting macam klipping, jadwal acara menarik dll. Satu lagi sengaja pintu kamar mandi anak, sisi dalamnya kami pilih bahan whiteboard, selain tahan air juga biar bisa untuk nulis perbendaharaan kata atau hal-hal penting biar sambil di toilet anak-anak baca sesuatu. Tetapi 2 anak itu jiwa usilnya selangit...setelah mereka baca dan mungkin hafal (katanya disekolah mereka juga terpampang 2 mahfudlot itu), Vikra melanjutkan dengan menulis bawahnya, yang semula kami pikir..wah hebat banget ini anak bisa hafal mahfudlot lain karena tulisannya mirip pakai "wa man"juga. Tapi pas kami dekati tulisannya ternyata:
"wa man anta" (dan siapa kamu?).
Lalu Vinda nggak kalah saing, dia buat sesuatu, kalimat "barangsiapa berjalan diatas jalannya..., dia hapus beberapa hurufnya, kalimatnya jadi berbunyi:
" barang apa berjalan diatas jalannya?".
Ampuunnnn.... usil banget....
"Usil" mereka memang sejak kecil, keturunan kali ya...salah satunya, waktu mereka kecil, setiap mau bobok, kami pingin mentradisikan mendongeng atau bacakan buku cerita. Tapi mereka, terutama Vikra selalu take over : " ibu, sini Vikra aja yang lanjutin", karena dia selalu protes yang dongengnya nggak seru, yang alurnya nggak seperti di buku dll. Jadi gantian dia yang dongengin kalau mau tidur. Dalam hati ketawa tapi sisi lain Vikra jadi terlatih artikulatif. Lumayanlah dia pernah juara pidato dan story telling bahasa Inggris mewakili sekolahnya.
"wa man anta" (dan siapa kamu?).
Lalu Vinda nggak kalah saing, dia buat sesuatu, kalimat "barangsiapa berjalan diatas jalannya..., dia hapus beberapa hurufnya, kalimatnya jadi berbunyi:
" barang apa berjalan diatas jalannya?".
Ampuunnnn.... usil banget....
"Usil" mereka memang sejak kecil, keturunan kali ya...salah satunya, waktu mereka kecil, setiap mau bobok, kami pingin mentradisikan mendongeng atau bacakan buku cerita. Tapi mereka, terutama Vikra selalu take over : " ibu, sini Vikra aja yang lanjutin", karena dia selalu protes yang dongengnya nggak seru, yang alurnya nggak seperti di buku dll. Jadi gantian dia yang dongengin kalau mau tidur. Dalam hati ketawa tapi sisi lain Vikra jadi terlatih artikulatif. Lumayanlah dia pernah juara pidato dan story telling bahasa Inggris mewakili sekolahnya.
Kembali ke soal mahfudlot..Ceritanya kami ingin sedikit-sedikit menjadikan rumah sebagai "pesantren" buat anak-anak kami. Image bahwa pesantren yang bagus adalah alternatif edukasi yang menarik, melekat didalam diri kami berempat. Saat liburan, kami sering menyempatkan keliling ke aneka pesantren dari Pabelan, Gontor pusat maupun cabang2nya di Mantingan maupun Magelang, DarunNajah, Lazuardi, dll. Selain silaturahmi ke sobat-sobat ayah Ibu (karena ayah alumni Gontor juga), sekalian memperkenalkan anak ke dunia pesantren. Mereka cukup tertarik, tapi maju mundur dan saling nggelendot keberatan saat ditawari mondok. Vinda tidak mau ditinggal kakaknya, Vikra juga keberatan pisah. Aspek-aspek psikologis menggelayut, apalagi pengalaman beberapa alumni, pas curhat-curhatan, mereka merasa kohesi antar kakak adik menjadi tidak mendalam karena tidak bertumbuh bersama, tetap dekat tetapi tidak tahu banyak karena lama tidak saling bersama. Selain itu juga soal nutrisi, karena kekurangan gizi pada saat nyantri, bagi tubuh-tubuh rentan macam ibu, berdampak berbeda. Sebetulnya semua bisa dijembatani dan tidak bisa hitam putih melihatnya. Tapi akhirnya kami mencoba membuat konsep " mondok di rumah". Artinya kami pakai basic edukasi pesantren dengan panca Jiwa dan motto pondok dalam mendidik anak dengan segala spirit lain dari kyai dan guru-guru dan kami modifikasi dengan kesejarahan kami. Nafas motto dan panca jiwa pondok ini menarik:
MOTTO PONDOK
BERBUDI TINGGI
BERBADAN SEHAT
BERPENGETAHUAN LUAS
BERPIKIRAN BEBAS
PANCA JIWA PONDOK
KEIKHLASAN
KESEDERHANAAN
UKHUWAH ISLAMIYAH
BERDIKARI
BEBAS
Ada hal-hal yang coba kami kritisi, misalnya ukhuwah Islamiyah kami tanamkan menjadi ukhuwwah insaniyah. Karena alumni pondok banyak yang terbiasa hidup dlm mono religion, bergaul dengan kebanyakan orang Islam, sehingga mental pluralisnya tidak optimal bertumbuh dalam setiap orang. Dalam khutbah-khutbah para alumninya cenderung masih banyak prejudice ini itu thd agama lain. Kemandirian dan kesederhanaan selalu kami usahakan. Kami menerjemahkan, sederhana adalah pilihan gaya hidup lebih bersahaja dari kemampuan seseorang. Sederhana tidak harus makan tempe tahu dan punya 3 baju, tetapi mampu beli Mercy atau truck :) tapi memilih mobil bersahaja, mampu belanja di mall tapi bersenang belanja di pasar tradisional, mampu beli AC tapi memutuskan rela berpanas tidak pakai, dll itulah kebersahajaan. Bersahaja adalah hidup karena faedah bukan karena "wahh".
Alasan lain membiarkan anak "mondok dirumah", kadang dalam hati...sekolah kami tinggi-tinggi, beberapa kali jauh dari anak, kenapa kok tidak dikembalikan ke mereka ilmu-ilmu itu selain dibagi juga ke orang lain?. Jadi memodifikasi rumah menjadi spirit pesantren ini lucu dan sedang diperjuangkan terus...karena tantangannya minta ampun, dari IT sampai pop culture yang menganga diluar.... kami coba bikin fondasi pondok tetapi dinding dan atapnya bisa fleksible... bukan copy paste pesantren yang konvensional tentunya. Walaupun sibuk, kami bangga anak mengaji karena kami yang ajari (waktu kecil pernah kami biarkan ikut iqro' di musolla sebelah biar ceria dengan teman-temannya), kami juga ingin anak-anak sedikit tahu bahasa Arab sebagai kunci memahami tradisi agamanya. Tidak muluk-muluk, pesantren adalah ruh..bukan raga, bukan sekedar jilbab dan peci.
MOTTO PONDOK
BERBUDI TINGGI
BERBADAN SEHAT
BERPENGETAHUAN LUAS
BERPIKIRAN BEBAS
PANCA JIWA PONDOK
KEIKHLASAN
KESEDERHANAAN
UKHUWAH ISLAMIYAH
BERDIKARI
BEBAS
Ada hal-hal yang coba kami kritisi, misalnya ukhuwah Islamiyah kami tanamkan menjadi ukhuwwah insaniyah. Karena alumni pondok banyak yang terbiasa hidup dlm mono religion, bergaul dengan kebanyakan orang Islam, sehingga mental pluralisnya tidak optimal bertumbuh dalam setiap orang. Dalam khutbah-khutbah para alumninya cenderung masih banyak prejudice ini itu thd agama lain. Kemandirian dan kesederhanaan selalu kami usahakan. Kami menerjemahkan, sederhana adalah pilihan gaya hidup lebih bersahaja dari kemampuan seseorang. Sederhana tidak harus makan tempe tahu dan punya 3 baju, tetapi mampu beli Mercy atau truck :) tapi memilih mobil bersahaja, mampu belanja di mall tapi bersenang belanja di pasar tradisional, mampu beli AC tapi memutuskan rela berpanas tidak pakai, dll itulah kebersahajaan. Bersahaja adalah hidup karena faedah bukan karena "wahh".
Alasan lain membiarkan anak "mondok dirumah", kadang dalam hati...sekolah kami tinggi-tinggi, beberapa kali jauh dari anak, kenapa kok tidak dikembalikan ke mereka ilmu-ilmu itu selain dibagi juga ke orang lain?. Jadi memodifikasi rumah menjadi spirit pesantren ini lucu dan sedang diperjuangkan terus...karena tantangannya minta ampun, dari IT sampai pop culture yang menganga diluar.... kami coba bikin fondasi pondok tetapi dinding dan atapnya bisa fleksible... bukan copy paste pesantren yang konvensional tentunya. Walaupun sibuk, kami bangga anak mengaji karena kami yang ajari (waktu kecil pernah kami biarkan ikut iqro' di musolla sebelah biar ceria dengan teman-temannya), kami juga ingin anak-anak sedikit tahu bahasa Arab sebagai kunci memahami tradisi agamanya. Tidak muluk-muluk, pesantren adalah ruh..bukan raga, bukan sekedar jilbab dan peci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar