Peka Sesama : Wasiat Uti 2

"Sopo sing maem bakso? (siapa yang makan bakso?)"
Solider dengan sesama

Uti pernah marah besar waktu Ibu sama om Daris masih kecil, beli bakso untuk berdua saja, tidak membelikan untuk PRT kita (karena memang beli dari sisa uang jajan). Uti melihat sisa mangkok di cucian piring, dan ngecek siapa yang makan? Uti marah..kok bisa-bisanya kalian makan enak berdua, sementara yang mbantuin tidak dibagi?

"Yen maem koncone didum (kalau makan temannya harus dibagi)"
Berbagi, jangan enak sendiri
Karena anak kecil, sering tidak sadar makan snack oleh-oleh dari uti didepan teman-teman. Uti akan memanggil dan bilang, kalau masih ada makanan didalam, bagi teman-teman, tapi kalau sudah habis, jangan sekali-kali makan didepan teman padahal nggak berbagi!


"Gelas diambu, seprei bordir dipasang! (gelas dicium, seprei bordir dipasang)"
Tamu adalah Raja
Bagi akung uti, tamu adalah raja. Setiap ada tamu, uti berulang-ulang (bahkan sampai hafal) untuk cium gelas biar nggak amis,selalu pilih gelas terbaik untuk tamu, dilap yang bersih, bikin teh yang enak, ngaduk jangan ada suara, busa adukan dibuang, taruh ditatakan dengan pegangan cangkir sisi kanan, angkat dengan nampan sejajar dengan muka (biar bisa lihat jalan dan minuman tidak dibawah mulut), hidangkan untuk yang tua dulu, gelas bapak harus sama dengan tamu, lalu persilahkan tamu untuk minum dengan cara yang super ramah, santun dan dengan kromo inggil!! (bahasa Jawa paling halus). Kalau tamu menginap, harus ganti seprei bordir yang terbaik siap dengan handuk, dan tamu akan dipaksa makan dan makan. Uti selalu mengingatkan, stock snack untuk tamu jangan diganggu gugat, karena uti akan malu kalau pas ada tamu dan sampai kehabisan snack yang layak.

"Blonjo kokehan (belanja kebanyakan)"
Berbagi rejeki
Menurut cerita kawan uti, uti selalu punya alasan seakan belanja sayuran/lauk kebanyakan, hanya untuk membagi kawannya di pasar yang kebetulan dagangannya nggak laku. Ya. Ibu sampai sekarang nggak bisa ketemu kawan-kawan uti dan nggak berani masuk ke deretan kios uti, karena ibu nggak kuat kalau ketemu teman uti..persahatan uti dengan kawan-kawanya sangat rekat.

"Dinggo mundut dawet (buat beli cendol)"
Pelanggan seperti saudara
Dengan mata kepala sendiri ibu sering nyaksiin uti menyelipkan uang 500 rupiah (jaman itu seperti 5000-10.000) kepada anak kecil yang dibawa belanja ke kios uti “iki nggo mundut dawet/ini buat beli cendol) Padahal yang mereka beli kadang cuma celana dalam atau hasduk pramuka yang harganya lebih murah dari uang yang uti kasih. Pelanggan tadi munduk-munduk sumringah sambil bilang..sibuu, matur suwun! Atau buat muállaf, uti kerap kasih mukena juga. Tidak jarang uti sok akrab, nanya ke ibu-ibu yang kelihatan dari pelosok mana; “cah ayu kae wis neng ndi to” (si cantik/anaknya si pelanggan ini sudah dimana sekarang) , sering banget si pelanggan jawab..ingkang pudi to bu? Lare kulo kakung sedoyo? (yang mana bu, anak saya laki-laki semua)..nah lo!!

"Peladen! Teh pahit kalih, putihan setunggal! (pelayan resepsi! teh pahit dua, air putih satu)"
Penerima tamu handal dan perhatian terhadap orang
Uti paling laris jadi penerima tamu tetangga-tetangga yang punya hajat. Padahal seharian berdiri, bicara, harus beli kebaya baru dan kadang ke salon sanggulan yang juga nambah anggaran. Tapi dengan ikhlas dan ceria, uti menjalaninya dengan aktif dan sensitif (peka). Uti selalu hafal tamu-tamu (padahal bisa 2000an orang), siapa saja yang kena sakit gula, minumnya apa, dll. Uti tanpa sepengetahuan tamunya selalu order minuman yang aman untuk mereka.

"Kabeh wis dicacah? (semua sudah dihitung?)"
Semua untuk tetangga: Penyewaan gratis alat makan untuk pesta.

Kami selalu pusing disuruh sering-sering menghitung jumlah sendok, gelas, mangkok piring, dll, yang jumlahnya ratusan untuk dipinjamkan ke tetangga. Perlengkapan itu lengkap dan dilengkapi untuk dipinjamkan. Kata bulik (tante di Jakarta) kalau disewakan sudah menghasilkan banyak uang pasti. Tapi uti selalu mau repot untuk menyenangkan dan membantu orang lain. Ikhlas lagi…karena tidak jarang benda-benda itu hilang sedikit demi sedikit karena salah hitung waktu mengembalikan.
Aki diiwit-iwit nggo kethoprak (aki dihemat buat nonton kethoprak)
Rumah jadi gedung opera rakyat
Seingat ibu, keluarga kamilah yang pertama atau kedua yang punya TV dikampung kami. Jadi praktis setiap hari rumah selalu banyak tetangga yang datang ikut nonton bareng. Apalagi malem Rabu, pas ada kethoprak mataram Sapto Hudoyo TVRI Jogja. Makanya ibu sering sekali diingetin untuk tidak pakai aki terlalu lama-lama (karena waktu itu belum ada listrik), walaupun lagi nonton Tom and Jerry juga harus mengalah demi malam Rabu. Uti rasanya udah seperti terikat wajib tayang demi tetangga-tetangga. Rumah jadi kayak gedung opera rakyat, puluhan orang datang dari aneka usia. Yang sepuh-sepuh diaturi duduk paling depan diatas kursi, anak-anak duduk dibawah dan yang muda-muda berdiri dibelakang. Uti atur dengan tertib. Yang lebih unik lagi, uti selalu sibuk minta yang mbantuin di rumah untuk bikin teh manis untuk puluhan orang itu terutama yang sepuh dan bapak-bapak/ibu-ibu. Untuk remaja selalu diblang nggawe dewe nggih sing enom-enom (yang muda bikin sendiri). Bahkan kalau rewange udah kelihatan capek, uti tidak segan-segan turun tangan sendiri mondar-mandir kedapur, bahkan rela kelewat sedikit acara kethoprak itu.

Tidak ada komentar: