By: Vikra Alizanovic.
Baru aja seminggu yang lalu, kita sekeluarga nonton film Garuda di Dadaku, which claims to be the most long-awaited Indonesian family movie of the year. Hari senin kita berangkat ke WTC BSD. Di perjalanan, kita gak bakal terkejut kalo antreannya bakal panjang banget, soalnya emang kata temen-temen filmnya bagus. Gak nyangka, sampai sana, ternyata gak ada antrean. Tapi, begitu kita cek ke mbak-nya, ternyata yang ada tinggal tiket untuk jam main 19.00. Padahal itu baru jam 2 siang. Tiket untuk yang jam 14.40 dan 16.50 udah ludes. Habis. Ganas. Gak nyangka.
So, karena bener-bener niat, we decided to come back tomorrow before the theatre even opened. Kita bakalan dateng besok jam 11-an, karena jam segitulah loket tiketnya buka. Eh, begitu nyampe, bioskopnya emang masih tutup, tapi didepan pintu bioskopnya bertumpuk-tumpuk para massa. Udah kaya demo buruh, dari ibu-ibu yang gendong bayi, bocah-bocah lugu ingusan, pasutri yang kayaknya newlyweds, anak2 smp, sma, semua ada disana. So, bokap dengan sangat bijaksana berkata, “kak, ngantri.”
Yak, akhirnya gw yang harus mengorbankan tubuh gua ini untuk siap bergulat sama pasutri-pasutri itu nanti pas pintu bioskop dibuka. So, gw langsung mendekatkan diri ke pintu, tapi ada om-om gendut yang ngalangin gw. Pas gw senggol, dia menggeram. Imej-nya jadi kayak gw mau ngelawan beruang. Karena masih sayang sama anggota tubuh gw, gw nyari celah lain.
Selagi nyari celah, pintu bioskop tiba-tiba terbuka… Yak!!! Layaknya pacuan kuda, kita semua berpacu ke loket pembelian. Gak peduli umur dan badan, gw harus menang. Sialnya bocah-bocah ingusan itu mimpin di depan. Yah, setidaknya gw dapet barisan tengah. Tangan gw lebarkan ke samping biar gak ada yang nyalip. Medan perang berantakan. Ada ibu-ibu yang nabrak papan reklame film. “Stop Vikra! Gak ada waktu untuk ketawa!”, pikir gw. Dengan menahan tawa, gw terus berlari ke arah loket. Sayangnya, disamping gw bocah kecil berambut jabrik nabrak pot tanaman. Hahahahahaha, gw ketawa. Sialnya, gara-gara ketawa, gw kehilangan fokus. Gw disalip om-om yg gendong anak perempuannya.
Yah, akhirnya setelah dapet tiket, kita kebawah dulu ngemil di cafe favorit kita. Sampai akhirnya, kita masuk bioskop. Kegiatan nonton berlangsung secara normal. By normal, I mean it. Harus nahan malu kalo bokap udah ketawa. Selera humor bokap jelek. Jadi di adegan yang gak lucu, bokap sering ketawa sendiri, dengan suara yang aneh. Penonton lain pada nengok ke arah kita. Mungkin mereka ngira ada penyembelihan kambing di Studio tersebut.
Eniwei, overall, filmnya bagus. Bener-bener Indonesia banget. Cerita tentang seorang anak yang berjuang keras untuk jadi Timnas Sepakbola Indonesia, bertarung mewakili tanah air tercinta, walaupun dilarang oleh kakeknya sendiri. Film ini juga banyak menyinggung hal-hal yang cukup penting. Seperti dimana si Bayu, karakter utamanya, harus latihan bola di kuburan yang sudah gak dipake, karena di Jakarta sudah gak ada tanah kosong. Gedung dan bangunan dimana-mana. Semua jalan sudah dibeton. Kalaupun ada, tanah itu sudah dibeli dan dipagar, sehingga anak-anak yang punya bakat gak bisa menyalurkan bakatnya.
Di film ini juga memberitahu para orangtua, bahwa untuk tidak memaksa anaknya untuk belajar ini-itu, melainkan membiarkan sang anak melakukan apa yang dia suka, selama hal itu menuju ke sesuatu yang positif.
Film ini lain dari yang lain. Dimana tadinya film indonesia hanya tentang horor yang dimainkan oleh artis-artis seksi tapi kurang bermutu aktingnya dan aspek seni-nya nyaris tidak ada. Mereka lupa bahwa sesungguhnya perfilman itu bukanlah bisnis perfilman, melainkan seni perfilman.
Film ini juga bener-bener membangun rasa nasionalisme di dalam diri para penonton, dibuktikan oleh para temen gw yang mengaku begitu. Even I, I think have become a nationalist. Whatever that is. Walaupun sampe sekarang gw belum hafal UUD alinea pertama. Well, pokoknya ini film recommended banget. Four Thumbs Up! A-must-see…
Baru aja seminggu yang lalu, kita sekeluarga nonton film Garuda di Dadaku, which claims to be the most long-awaited Indonesian family movie of the year. Hari senin kita berangkat ke WTC BSD. Di perjalanan, kita gak bakal terkejut kalo antreannya bakal panjang banget, soalnya emang kata temen-temen filmnya bagus. Gak nyangka, sampai sana, ternyata gak ada antrean. Tapi, begitu kita cek ke mbak-nya, ternyata yang ada tinggal tiket untuk jam main 19.00. Padahal itu baru jam 2 siang. Tiket untuk yang jam 14.40 dan 16.50 udah ludes. Habis. Ganas. Gak nyangka.
So, karena bener-bener niat, we decided to come back tomorrow before the theatre even opened. Kita bakalan dateng besok jam 11-an, karena jam segitulah loket tiketnya buka. Eh, begitu nyampe, bioskopnya emang masih tutup, tapi didepan pintu bioskopnya bertumpuk-tumpuk para massa. Udah kaya demo buruh, dari ibu-ibu yang gendong bayi, bocah-bocah lugu ingusan, pasutri yang kayaknya newlyweds, anak2 smp, sma, semua ada disana. So, bokap dengan sangat bijaksana berkata, “kak, ngantri.”
Yak, akhirnya gw yang harus mengorbankan tubuh gua ini untuk siap bergulat sama pasutri-pasutri itu nanti pas pintu bioskop dibuka. So, gw langsung mendekatkan diri ke pintu, tapi ada om-om gendut yang ngalangin gw. Pas gw senggol, dia menggeram. Imej-nya jadi kayak gw mau ngelawan beruang. Karena masih sayang sama anggota tubuh gw, gw nyari celah lain.
Selagi nyari celah, pintu bioskop tiba-tiba terbuka… Yak!!! Layaknya pacuan kuda, kita semua berpacu ke loket pembelian. Gak peduli umur dan badan, gw harus menang. Sialnya bocah-bocah ingusan itu mimpin di depan. Yah, setidaknya gw dapet barisan tengah. Tangan gw lebarkan ke samping biar gak ada yang nyalip. Medan perang berantakan. Ada ibu-ibu yang nabrak papan reklame film. “Stop Vikra! Gak ada waktu untuk ketawa!”, pikir gw. Dengan menahan tawa, gw terus berlari ke arah loket. Sayangnya, disamping gw bocah kecil berambut jabrik nabrak pot tanaman. Hahahahahaha, gw ketawa. Sialnya, gara-gara ketawa, gw kehilangan fokus. Gw disalip om-om yg gendong anak perempuannya.
Yah, akhirnya setelah dapet tiket, kita kebawah dulu ngemil di cafe favorit kita. Sampai akhirnya, kita masuk bioskop. Kegiatan nonton berlangsung secara normal. By normal, I mean it. Harus nahan malu kalo bokap udah ketawa. Selera humor bokap jelek. Jadi di adegan yang gak lucu, bokap sering ketawa sendiri, dengan suara yang aneh. Penonton lain pada nengok ke arah kita. Mungkin mereka ngira ada penyembelihan kambing di Studio tersebut.
Eniwei, overall, filmnya bagus. Bener-bener Indonesia banget. Cerita tentang seorang anak yang berjuang keras untuk jadi Timnas Sepakbola Indonesia, bertarung mewakili tanah air tercinta, walaupun dilarang oleh kakeknya sendiri. Film ini juga banyak menyinggung hal-hal yang cukup penting. Seperti dimana si Bayu, karakter utamanya, harus latihan bola di kuburan yang sudah gak dipake, karena di Jakarta sudah gak ada tanah kosong. Gedung dan bangunan dimana-mana. Semua jalan sudah dibeton. Kalaupun ada, tanah itu sudah dibeli dan dipagar, sehingga anak-anak yang punya bakat gak bisa menyalurkan bakatnya.
Di film ini juga memberitahu para orangtua, bahwa untuk tidak memaksa anaknya untuk belajar ini-itu, melainkan membiarkan sang anak melakukan apa yang dia suka, selama hal itu menuju ke sesuatu yang positif.
Film ini lain dari yang lain. Dimana tadinya film indonesia hanya tentang horor yang dimainkan oleh artis-artis seksi tapi kurang bermutu aktingnya dan aspek seni-nya nyaris tidak ada. Mereka lupa bahwa sesungguhnya perfilman itu bukanlah bisnis perfilman, melainkan seni perfilman.
Film ini juga bener-bener membangun rasa nasionalisme di dalam diri para penonton, dibuktikan oleh para temen gw yang mengaku begitu. Even I, I think have become a nationalist. Whatever that is. Walaupun sampe sekarang gw belum hafal UUD alinea pertama. Well, pokoknya ini film recommended banget. Four Thumbs Up! A-must-see…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar