"Mbak, mosok aku gak sholat teraweh sepisan wae dikeroyok sak kampung (masak nggak solat teraweh sekali aja dihajar orang sekampung). Lalu si Anwar (bukan nama sebenarnya) ini, menunjukkan luka-luka bekas pukulan warga di tangan, kakinya, juga mukanya yang bekas diinjak-injak dan terlihat masih legam hitam. Di tangannya ada luka bekas diikat yang ditunjukin seperti anak 4 tahun ngadu ibunya krn habis jatuh. Dia nampak perlu sekali didengar. Dengan pertanyaan meng-empati, ibu terus menggali dg bahasa jawa timuran dan berusaha mendengar khusyu'. "Kok bisa War"?, masak gara-gara gak sholat kamu dipukulin, mesakke banget kamu. Emang kamu lagi ngapain pas mereka datang?". Anwar jawab; "Aku lagi nonton TV mbak, dengerin radio!". "Oo, gitu. Sebelum itu kamu ngapain, kok sampai mereka marah?. Mosok rek gara-gara gak sholat aja orang marah", desak ibu dg nada santai becanda. Kata Anwar: "temenan mbak/sungguh!"katanya bersikukuh. "Kasihan, emangnya kamu biasane rajin ke masjid ya?" tanya ibu banting setir pertanyaan. "Lho mbak, aku tuh muázin, tukang azan, goro-goro aku gak azan, orang sekampung gak teraweh". Ibu hampir kecekik nahan ketawa! tapi ditahan. Akhirnya tetep aja ibu menganggap dia orang normal, jadi ibu ajak ketawa wajar sambil ngeledek. "ya itu War sebab-e!". Petugas bahkan nambahin: "war, crito sama mbaké kon munggah-munggah genteng masjid , manjat kelapa sambil teriak-teriak". Owwww....gamblang sudah akhirnya.
Obrolan direbut sama cowok 37 tahunan yang tambun, wajah memelas dan pake bahasa Jawa timuran dia ngadu: "mbak, awake dewek iki salah opo ya, kok kita dibuang sama sodara-sodara kita disini. Paling banter kita kan cuma ngomong sendiri, gak pernah kita ganggu mereka, gak ngerugiin mereka. Kita disini dibuang mbak, dihukum. Mereka gak mau diganggu, malu sama kita". Lalu ibu elus pundak dia, meyakinkan bahwa itu nggak bener, sodara-sodaranya pasti pingin dia sembuh.
Cowok yang dipojok kelihatan antusias mau ngomong, badannya agak maju pingin didengar. Lalu ibu tanya: sampean krasan tah nang kene?. Langsung spontan dia jawab"aku krasan mbak nang kene". "Lho, ngopo krasan"? tanya ibu dg muka antusias. "mbak, masalahe nak nang omah aku dibelok/dipasung. Nang kene enggak, banyak temennya". Ibu tanya; "udah berapa kali mlebu kene". "wis gak iso diitung mbak" jawabnya jujur.
Sambil ngobrol, memang sesekali ada cowok yang melintas begitu saja sambil ngasih genggaman kertas dilipat, ibu buka dg GR kirain ada tulisan khusus, rupanya cuma bungkus rokok lecek, nggak ada apa-apanya. Lalu ada juga yang masih mungut bungkus teh kotak yang sudah di tong sampah untuk dihisap padahal sudah habis. Lalu ada lagi yang merayu pinjam HP mau ngontak saudaranya minta pulang. Tapi petugas mengerling ke ibu untuk tidak ngasih HP. Ibu antara tidak tega, tapi bilang pulsa habis. Begitu omongan nyinggung soal HP, ada satu lagi juga nitip sms biar dikirim ke saudaranya untuk jemput, pas ibu tanya ke petugasnya dibolehkan, ibu akhirnya sms pas diluar, biar yg sebelumnya tidak tersinggung.
Lalu ada cowok tinggi botak yang kepalanya banyak luka, mendekat. Agak risih, dan takut juga kalau diapain, padahal pintu bangsal terkunci jeruji, dan kita seakan terperangkap didalam dengan puluhan mereka, cowok semua (bangsal cewek terpisah). Tapi cowok ini tidak menyentuh sama sekali (dalam hati, orang yang kita anggap gila aja bisa sopan dan jauh dari sikap melakukan pelecehan seksual). Lalu ibu tanya: "sampean pie critane kok sampe sini?". Dg senyum ikhlas dia cerita "Jarene/kata guruku, seko cilik, SD, aku suka ngajak ngomong sendiri pohon petai Cina". "lho kok iso?". "Embuh mbak, aku suenenggg... prosoku/rasaku pohon iku uapik tenan. Aku juga seneng lihat matahari lama-lama. Yo embuh, opo sebab-e".
Lalu ibu memanggil ngajak gabung cowok guanteng, tengku Wisnu, David Ducovni, Tom Cruise aja kalah. Penasaran banget, karena wajahnya juga tidak mengguratkan dia bermasalah. Kelihatannya pintar, kharismatik dan penuh kontrol. "mrene tah, crito-crito? sini yuk crita-crita. Dah mau pulang tah?". Dia tidak mau cerita, mengambil jarak dan kayaknya mendifinisikan diri sudah sembuh. Lalu pas udah mau pulang ibu sempetin keluar dari barisan pas, khusus mendekat dia ngobrol ngalor ngidul untuk bangun kepercayaan dan akhirnya dia cerita. "aku mrene iku dibuang keluargaku mbak. Habis aku beda pendapat ama sodara-sodaraku. Mereka maksain aku. Aku hampir aja dapat cita-citaku, tapi keluargaku gak setuju. Aku ngamuk". Wis berapa kali mrene? "3 kali". Tapi mosok sih beda pendapat aja sampai dibawa mrene?". Lagi-lagi petugas dg entengnya bilang. "kon mbok crito, ngamuk meh mateni bapakmu/mbok crita kamu ngamuk hampir membunuh bapakmu". Ohh...
Yang jelas, cerita-cerita mereka, bener-bener membuka mata, tentang bagaimana orang sehat ini berkontribusi untuk membuat atau memperparah mereka yang kita anggap gila. Yang mengharukan, petugas-petugas disana dengan penuh sabar dan cintanya menemani mereka, seperti jadi orang tuanya. Kadang mencet hidung mereka kalau ada yang lucu, atau mengingatkan untuk tidak larut ke halusinasi dengan mengalihkan perhatian. Makanan juga relatif baik (seperti dalam gambar ini dg buah, perhari sekitar Rp 30.000, termasuk makan dan asrama, kecuali yang dapat keterangan miskin dan VIP.
Yang menarik, info dari RS, lebaran kali ini semakin sedikit pasien. Padahal dulu-dulu, setiap lebaran penuh pasien dadakan, karena banyak keluarga yang memilih membuang /menitipkan anggota keluarganya karena gengsi saat banyak tamu lebaran, dan diambil seusai lebaran. Tapi sekarang orang mulai sadar, bahwa kunci sembuh orang yang dianggap gila adalah rasa dicinta, bebas tekanan, dan harus dianggap seperti orang normal. RSJ bukan buangan, tapi memang untuk menyembuhkan. Dan konon pemerintah mulai memberi anggaran layak untuk rumah sakit yang selama ini menjadi momok sangkar "hantu". Ahh...liburan yang berbeda, Rumah sakit yang penuh keramahan dengan jiwa-jiwa yang harus direngkuh dan diselamatkan. Sudah saatnya, tidak menstigma mantan pasien RSJ, mereka sama seperti mantan pasien jantung... yang bisa sembuh atau kambuh. Mereka adalah kita juga.
Obrolan direbut sama cowok 37 tahunan yang tambun, wajah memelas dan pake bahasa Jawa timuran dia ngadu: "mbak, awake dewek iki salah opo ya, kok kita dibuang sama sodara-sodara kita disini. Paling banter kita kan cuma ngomong sendiri, gak pernah kita ganggu mereka, gak ngerugiin mereka. Kita disini dibuang mbak, dihukum. Mereka gak mau diganggu, malu sama kita". Lalu ibu elus pundak dia, meyakinkan bahwa itu nggak bener, sodara-sodaranya pasti pingin dia sembuh.
Cowok yang dipojok kelihatan antusias mau ngomong, badannya agak maju pingin didengar. Lalu ibu tanya: sampean krasan tah nang kene?. Langsung spontan dia jawab"aku krasan mbak nang kene". "Lho, ngopo krasan"? tanya ibu dg muka antusias. "mbak, masalahe nak nang omah aku dibelok/dipasung. Nang kene enggak, banyak temennya". Ibu tanya; "udah berapa kali mlebu kene". "wis gak iso diitung mbak" jawabnya jujur.
Sambil ngobrol, memang sesekali ada cowok yang melintas begitu saja sambil ngasih genggaman kertas dilipat, ibu buka dg GR kirain ada tulisan khusus, rupanya cuma bungkus rokok lecek, nggak ada apa-apanya. Lalu ada juga yang masih mungut bungkus teh kotak yang sudah di tong sampah untuk dihisap padahal sudah habis. Lalu ada lagi yang merayu pinjam HP mau ngontak saudaranya minta pulang. Tapi petugas mengerling ke ibu untuk tidak ngasih HP. Ibu antara tidak tega, tapi bilang pulsa habis. Begitu omongan nyinggung soal HP, ada satu lagi juga nitip sms biar dikirim ke saudaranya untuk jemput, pas ibu tanya ke petugasnya dibolehkan, ibu akhirnya sms pas diluar, biar yg sebelumnya tidak tersinggung.
Lalu ada cowok tinggi botak yang kepalanya banyak luka, mendekat. Agak risih, dan takut juga kalau diapain, padahal pintu bangsal terkunci jeruji, dan kita seakan terperangkap didalam dengan puluhan mereka, cowok semua (bangsal cewek terpisah). Tapi cowok ini tidak menyentuh sama sekali (dalam hati, orang yang kita anggap gila aja bisa sopan dan jauh dari sikap melakukan pelecehan seksual). Lalu ibu tanya: "sampean pie critane kok sampe sini?". Dg senyum ikhlas dia cerita "Jarene/kata guruku, seko cilik, SD, aku suka ngajak ngomong sendiri pohon petai Cina". "lho kok iso?". "Embuh mbak, aku suenenggg... prosoku/rasaku pohon iku uapik tenan. Aku juga seneng lihat matahari lama-lama. Yo embuh, opo sebab-e".
Lalu ibu memanggil ngajak gabung cowok guanteng, tengku Wisnu, David Ducovni, Tom Cruise aja kalah. Penasaran banget, karena wajahnya juga tidak mengguratkan dia bermasalah. Kelihatannya pintar, kharismatik dan penuh kontrol. "mrene tah, crito-crito? sini yuk crita-crita. Dah mau pulang tah?". Dia tidak mau cerita, mengambil jarak dan kayaknya mendifinisikan diri sudah sembuh. Lalu pas udah mau pulang ibu sempetin keluar dari barisan pas, khusus mendekat dia ngobrol ngalor ngidul untuk bangun kepercayaan dan akhirnya dia cerita. "aku mrene iku dibuang keluargaku mbak. Habis aku beda pendapat ama sodara-sodaraku. Mereka maksain aku. Aku hampir aja dapat cita-citaku, tapi keluargaku gak setuju. Aku ngamuk". Wis berapa kali mrene? "3 kali". Tapi mosok sih beda pendapat aja sampai dibawa mrene?". Lagi-lagi petugas dg entengnya bilang. "kon mbok crito, ngamuk meh mateni bapakmu/mbok crita kamu ngamuk hampir membunuh bapakmu". Ohh...
Yang jelas, cerita-cerita mereka, bener-bener membuka mata, tentang bagaimana orang sehat ini berkontribusi untuk membuat atau memperparah mereka yang kita anggap gila. Yang mengharukan, petugas-petugas disana dengan penuh sabar dan cintanya menemani mereka, seperti jadi orang tuanya. Kadang mencet hidung mereka kalau ada yang lucu, atau mengingatkan untuk tidak larut ke halusinasi dengan mengalihkan perhatian. Makanan juga relatif baik (seperti dalam gambar ini dg buah, perhari sekitar Rp 30.000, termasuk makan dan asrama, kecuali yang dapat keterangan miskin dan VIP.
Yang menarik, info dari RS, lebaran kali ini semakin sedikit pasien. Padahal dulu-dulu, setiap lebaran penuh pasien dadakan, karena banyak keluarga yang memilih membuang /menitipkan anggota keluarganya karena gengsi saat banyak tamu lebaran, dan diambil seusai lebaran. Tapi sekarang orang mulai sadar, bahwa kunci sembuh orang yang dianggap gila adalah rasa dicinta, bebas tekanan, dan harus dianggap seperti orang normal. RSJ bukan buangan, tapi memang untuk menyembuhkan. Dan konon pemerintah mulai memberi anggaran layak untuk rumah sakit yang selama ini menjadi momok sangkar "hantu". Ahh...liburan yang berbeda, Rumah sakit yang penuh keramahan dengan jiwa-jiwa yang harus direngkuh dan diselamatkan. Sudah saatnya, tidak menstigma mantan pasien RSJ, mereka sama seperti mantan pasien jantung... yang bisa sembuh atau kambuh. Mereka adalah kita juga.
2 komentar:
jeng yuni..tulisan tentang RSJ ini 'dalam'dan menohok rasa. Semoga kita yang merasa'waras'memang benar-benar punya jiwa yang penuh cinta untuk bersambungrasa dengan setiap nyawa...
makasih juga jeng Leta, jeng Tarian, jeng Elle, jeng Rianti, jeng tari, jeng Anti. Namanya bagus, mau di pelintir jadi jeng lentera juga tetep bagus. Makasih sudah berkunjung dan ada tetes kecil yang menyentuh relung nurani jeng yang cantik hati ini. Sukses ya..
Posting Komentar