Awalnya agak bergidik saat memasuki lorong-lorong RSJ di salah satu kota di Jawa. Yang terbayang adalah wajah orang gila yang tak terkontrol, menyeramkan dan menyerang. Tangan Vinda mencengkeram erat lengan ibunya dan mukanya pias pucat ketakutan. Ngapain liburan ke RSJ? Disamping kami ingin lebih jauh tahu dunia "gelap" RSJ, mempertebal spiritulitas anak-anak (dan kami sendiri tentunya), juga ingin ketemu direktur RSJ yang kebetulan berkorespondensi dg ayah untuk konsultasi cari psikiater yang terbaik untuk handle saudara yang selama ini menarik diri bersosialisasi, pendiam dan tidak punya gairah hidup. Rumitnya lagi, dia tidak percaya dg dunia medis dan anti obat farmacits.
Kami masuk area RS yang megah dan bersih itu, saat ayah bertemu dg direkturnya, kami bertiga ingin eksplorasi. Pertama ngobrol dg resepsionis, diceritakan bahwa penghuni RSJ 70 % laki-laki, usia produktif, kebanyakan karena tekanan ekonomi dan hentakan masalah (wah hebat ya perempuan). Kami dibolehkan ke karantina, disana pasien yg baru, wajib tinggal disini untuk penenangan. Terlihat masih ada yang mengamuk, ada yang gemetar, ada yang ngoceh soal dangdut, ada yang ngajak kami ngobrol, ada yg pegang kuping melulu dan minta ditiup dan ada yang meringkuk tak berdaya. Yang jelas, karantina itu untuk mereka yang dianggap belum bisa mengontrol, ada yg tangan kakinya diikat dengan kain lembut dengan tempet tidur. Agak serem memang, tapi tidak seseram yang kami bayangkan. Disini keluarga wajib menunggu sampai tenang, biasanya 2 hari. Tapi tergantung pada diagnosa, dimana pasien dan keluarga berulang-ulang ditest dg aneka pertanyaan.
Setelah tenang, pasien dipindah ke ruang perawatan dengan seragam seperti dlm gambar ini. Rata-rata kamar berisi (+-) 10-20 orang, tapi juga ada kamar VIP. Sengaja kami masuk ke kamar yang banyak pasiennya terutama dari keluarga miskin. Vinda menyerah memilih menunggu di ruang tamu karena ketakutan. Tapi ibu dan Vikra tetap masuk (walaupun akirnya Vikra keluar nemenin adiknya). Kami dibukakan pintu jeruji masuk bangsal itu, yang menjaga gerbang selain petugas juga pasien-pasien yang sudah dianggap sembuh dan diyakini tidak akan lari. Begitu masuk, kita disambut aneka wajah yang secara obyektif memang banyak yang menyeramkan. Ada yang muka lebam-lebam, kaki bekas pasung, kepala botak bekas luka, muka bengong tak komunikatif, ada yang sibuk sendiri nggak mau diam, ada yang ganteng, ada yg ramah nyebut RT RW rumahnya berulang-ulang seakan kita mau kerumahnya.
Ibu masuk membawakan makanan sekedarnya. Mereka langsung salaman, berebut makanan, ngajak ngobrol, ada juga yg pinjam HP untuk kontak keluarganya. Walaupun sedikit takut, ibu langsung membangun rasa aman dan langsung membuat lingkaran tak sengaja dg mereka. Mereka satu-persatu ibu ajak ngobrol dan mengalirlah cerita-cerita yang diluar dugaan dan mengharukan dibawah ini (baca bag 2: Cerita dibalik tembok RSJ):
Kami masuk area RS yang megah dan bersih itu, saat ayah bertemu dg direkturnya, kami bertiga ingin eksplorasi. Pertama ngobrol dg resepsionis, diceritakan bahwa penghuni RSJ 70 % laki-laki, usia produktif, kebanyakan karena tekanan ekonomi dan hentakan masalah (wah hebat ya perempuan). Kami dibolehkan ke karantina, disana pasien yg baru, wajib tinggal disini untuk penenangan. Terlihat masih ada yang mengamuk, ada yang gemetar, ada yang ngoceh soal dangdut, ada yang ngajak kami ngobrol, ada yg pegang kuping melulu dan minta ditiup dan ada yang meringkuk tak berdaya. Yang jelas, karantina itu untuk mereka yang dianggap belum bisa mengontrol, ada yg tangan kakinya diikat dengan kain lembut dengan tempet tidur. Agak serem memang, tapi tidak seseram yang kami bayangkan. Disini keluarga wajib menunggu sampai tenang, biasanya 2 hari. Tapi tergantung pada diagnosa, dimana pasien dan keluarga berulang-ulang ditest dg aneka pertanyaan.
Setelah tenang, pasien dipindah ke ruang perawatan dengan seragam seperti dlm gambar ini. Rata-rata kamar berisi (+-) 10-20 orang, tapi juga ada kamar VIP. Sengaja kami masuk ke kamar yang banyak pasiennya terutama dari keluarga miskin. Vinda menyerah memilih menunggu di ruang tamu karena ketakutan. Tapi ibu dan Vikra tetap masuk (walaupun akirnya Vikra keluar nemenin adiknya). Kami dibukakan pintu jeruji masuk bangsal itu, yang menjaga gerbang selain petugas juga pasien-pasien yang sudah dianggap sembuh dan diyakini tidak akan lari. Begitu masuk, kita disambut aneka wajah yang secara obyektif memang banyak yang menyeramkan. Ada yang muka lebam-lebam, kaki bekas pasung, kepala botak bekas luka, muka bengong tak komunikatif, ada yang sibuk sendiri nggak mau diam, ada yang ganteng, ada yg ramah nyebut RT RW rumahnya berulang-ulang seakan kita mau kerumahnya.
Ibu masuk membawakan makanan sekedarnya. Mereka langsung salaman, berebut makanan, ngajak ngobrol, ada juga yg pinjam HP untuk kontak keluarganya. Walaupun sedikit takut, ibu langsung membangun rasa aman dan langsung membuat lingkaran tak sengaja dg mereka. Mereka satu-persatu ibu ajak ngobrol dan mengalirlah cerita-cerita yang diluar dugaan dan mengharukan dibawah ini (baca bag 2: Cerita dibalik tembok RSJ):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar