Dari Siswa ke Mahasiswa : Menjadi Mhs Psikologi UGM
Perjuangan di kelas tiga
"Maunya di UGM, kampusnya rimbun", .Kata Vikra bermimpi tentang future campus yang diinginkan sejak SMA Aviccena. Untuk menyiapkan kuliah, saat kelas 3 SMA sudah pasti penuh peluh berjuang antara lest IPC-- karena Vikra dr IPA harus belajar IPS untuk masuk ilmu sosial waktu UMPTN--. Juga Panggil gugu les ke rumah untuk sejumlah pelajaran yang perlu dikejar. cerita soal masa transisional Vikra bisa ditulis lain acara.
Kuliah apa dan dimana?? jelis sisir minat, bakat dan celah.
Saat akan memilih fakultas apa? ini juga cerita menarik yang lain. Pilihan awalnya di kedokteran hewan, karena memang Vikra extrem pecinta binatang. Tapi sama omnya di ledek, "Vik, mau kamu diledek orang, pas lewat ditegur, mau ngawinin kuda pa Vikra?. siap terima tantangan nggak, kalau mau uji kwalitas, test fakultas hukum UII, itu keren, banyak tokoh alumni dari hukum UII". Belum lagi passion Vikra di antropologi, atau jurnalisme. Kalau mau bangga dikit, memangkakak lumayan multi talent, tapi belum ada yang sreg 100 persen.
Akhirnya ayah meneliti dan membuat komperasi jumlah yang diterima tahun lalu, yang terbanyak peminatnya di beberapa Unibversitas yang kakak suka. Lalu juga cek ke alumni-alumni fakultas tersebut seberapa "terlihat hasilnya". Belum lagi konsultasi ke guru, terutama wali kelas Vikra di SMS, pak Dedy. " Bu, kalau bisa untuk Vikra jangan ambil fakultas yang perlu menyita konsentrasi tinggi. Ambil fakultas yang banyak berhubungan dengan manusia, social skill Vikra sangat bagus. Mungkin psikiologi atau antropologi lebih tepat". Lalu diskusi dengan yang bersangkutan bertahun-tahun dan bahkan sampai ujung akhir semua sama tinggi minatnya. Akhirnya iseng, ibu buat lotre, dimasukkan ke botol, lotre yang pertama keluar, itulah yang akan dipilih. Kita ketawa-ketawa melakukan itu untuk mengurangi tensi karena serba bingung. Pernah juga pakai cara buka-buka qur'an, jurusan yang dituju disandingkan dengan ayat-ayat Qur'sn yang sedang dibuka, kalau ayatnya berisi bagus-bagus berarti tanda bagus. Ini demi jalankan saran uti saat ibu dulu pilih jodoh. Dalam hati kecil: Tuhan, bantu untuk ambil keputusan ini....
Keputusanpun diambil
Aakhirnya kami mengawinkan hasil minat Vikra, pengamatan kami selama mendidik, nasehat guru, lotre dan undian spiritual ;), diputuskan pilihan pertama adalah psikologi UGM dan pilihan kedua Antropologi UI.
Namun sebelum tempuh ujian SNMPTN, Vikra kami antar explorasi ke kampus Sanata Dharma Jogja. Tapi pas ajak diskusi akung, jawabnya :" baiknya ke UII saja". spirit akung tertebaklah... akhirnya Vikra test juga hukum di UII. Karena dirasa susah, ada kawan dekat yang membisikkan " mau hubungi kak....nggak? dia kan orang penting di UII, yang bisa bantu meluluskan". Langsung dan dengan pasti ibu menggeleng. Tak ada kamus, buka cara-cara begini. Bukan hanya akan rusak mental anak, karena dipikir dengan kekuasaan, bisa membeli kesempatan. Selain itu juga menutup akses peminat-peminat lain, mereka yang pintar menjadi tersandung karena ini. Tapi yang juga sangat prinsip dan selalu kami ajarkan ke anak-anak, " percaya diri, bersungguh-sungguh, daripada bagus tapi hasil orang lain, mending karya sendiri, kalau kurang baik bisa diperbaiki". jadi percaya pada kemampuan anak, itu yang penting dikedepankan. Pas test UII, beberapa jam kemudian sudah bisa ada hasilnya, bahwa Vikra positif diterima di hukum UII. Bahagianya luar biasa. kemampuan Vikra yang asli, seperti kembali. Setelah di kelas 3 sempat bikin gusar kami. Akhirnya yg di UII diputuskan dibayar , kalau toh UMPTN diterima, nanti dipikir kemudian. Walau dalam hati kecil, kakak kurang tepat kayaknya di hukum, karena tidak tegaan, dan dia banyak nalar tapi tak sabar hafalan.
Hari yang ditunggu tiba, saat pengumuman UGM tiba, Vikra sms : "bu, Vikra diterima di UGM". Tak ada yang bisa wakili rasa suka ini. Tuhan sungguh bekerja, doa akung dan kami seperti terjawab. Usaha kakak dan strategi yang kami tempuh bersama kok akhirnya bisa tepat. Great..so u are the student of UGM ya nang, mulai Agustus 2011, Kakak jadi orang Jogja.
Duhhh....rasa beraduk, tak bayangkan anak gede yang kadang masih kami uyel-uyel ini tiba-tiba harus jauh. Ahhh...
Label:
Cerita Tentang Sekolah
Merubah Paradigma Kesejahteraan
Oleh Vandana Mernisi
Berdasarkan latar
belakang yang telah penulis jabarkan, dirumuskan identifikasi masalah: Apakah pengertian kesejahteraan?Factor apakah yang mempengaruhi
seseorang terhadap idealisme kesejahteraanya? Bagaimana standar sejahtera dilingkungan
desa dan kota?Hal apa saja yang mempegaruhi seseorang
terpacu mencapai kesejahteraannya dan mengapa manusia perlu sejahtera?
Halangan apa saja yang dihadapi untuk
mencapai suatu kesejahteraan?Hal apa yang mempengaruhi perbedaan
paradigm masyarakat kota dan desa terhadap kesejahteraan?
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui factor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat terhadap paradigmanya tentang kesejahteraan. Mengetahui standar kesejahteraan di lingkungan desa dan kota.
Metodologi
penelitian yang digunakan penulis adalah metode kulaitatif fan kuantitatif.
Penelitian dilaukukan melalui observasi, studi pustaka, dan penyebaran angket.
Penulis juga akan mencari informasi melalui media elektronik atau media tulis
lain untuk menunjang akurasi data yang disajikan. Hal yang diutamakan dalam
penilitian adalah observasi lapangan dan wawancara dari banyak sumber.
SIGNIFIKANSI Karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pembacanya dalam mengetahui lebih jauh mengenai kesejahteraan, yang merupakan
hal krusial yang jarang kita tidak sadari namun kita semua lakukan. Kemudian
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu idealisme
mengenai kesejahtraan itu sendiri dan standarisasi kesejahteraan dalam suatu wilayah.
Kesejahteraan membutuhkan upaya untuk dicapai, dalam kata lain pencapaiaan
kesejahteraan dapat dibilang pencapaiaan tujuan. Setiap manusia membutuhkan
tujuan untuk menjalani hidup namun karena tolak ukur kesejahteraan di desa
berbeda dengan kota, membuat tujuan hidup masyarakat desa terkadang terlalu
mencondong kepada kepentingan individual tanpa memikirkan untuk membuat
kemajuan baik dalam cakupan daerah nya, atau bahkan Indonesia. Diharapkan
dengan karya ilmiah ini memunculkan kesadaran pada pembacanya dengan
faktor-faktor yang tersajikan, apa yang harus dilakukan untuk tercapainya
kesadaran masyarakat desa untuk menaikan standarisasi kesejahteraan agar
tercapainya benih-benih baru yang memikirkan kesejahteraan bersama, memajukan
daerahnya, atau bahkan Indonesia.
Tugas Sekolah karya ilmiah (XI SMA Al-Izhar Pd Labu)
Setiap
manusia pada dasarnya pasti mencari kebahagiaan. Namun, kebahagiaan adalah
sesuatu yang relative yang artinya pendapat orang mengenai kebahagiaan itu
sendiri berbeda-beda. Pendapat suatu manusia mengenai kebahagiaan tentunya
didapatkan dari pengalaman hidupnya. Contoh, jika seorang manusia yang
dibesarkan diperdesaan mungkin adalah untuk bisa mengolah sumber daya alam
sekitarnya menjuadi sesuatu yang berguna dan menguntungkan bagi dirinya. Berbea
dengan seseorang yang dibesarkan ditengah keramaian kota metropolitan yang
mengalami derasnya arus globalisasi, mungkin kebahagiaan itu sendiri adalah
untuk mendapatkan gelar atau pekerjaan yang baik agar dapat memunuhi segala
kebutuhan tersiernya agar derajat nya sebagai manusia yang hidup ditengah
metropolitan terangkat, seperti mobil mewah, baju bagus, perhiasaaan, dan
sebagainya contohnya.
Seseorang
yang mencari setiap kebahagiaan yang dapat diraihnya adalah guna untuk mencapai
kesejahteraan. Seseorang dikatakan sejahtera ketika ia tidak lagi mengalami
kesulitan dalam hidupnya walau masalah terus menghadang karena ia telah
mencapai kebahagiaan tertinggi yang menurtunya ideal. Orang bahagia belum tentu
sejahtera karena kebahagiaan bersifat sementara sedangkan orang yang sejahtera
sudah pasti bahagia karena sejahtera merupakan suatu gambaran keseluruhan
tentang sebuah hidup manusia. Kesejahteraan sangat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang. Bahkan, seseorang rela mengakhiri hidupnya karena menurutnya ia
belum mencapai kesejahteraan tersebut. Pada hakikatnya, seluruh tujuan hidup
manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan yang ideal menurutnya agar tercapai
kesejahteraan.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui factor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat terhadap paradigmanya tentang kesejahteraan. Mengetahui standar kesejahteraan di lingkungan desa dan kota.
HIPOTESIS penelitian ini, kita semua hidup diatas gelombang arus globalisasi yang
menuntut kita untuk mau tidak mau mengikutinya agar dapat melanjutkan dan
meneruskan kedudukan kita dalam community.
Karena tuntutan tersebut, dan kondisi abad yang segala sesuatunya membutuhkan
uang maka penulis menduga:
1.
Factor materialistic, unggul dalam
pekerjaan dan mendapat upah atau gaji yang besar merupakan salah satu factor
besar yang mempengaruhi paradigma masyarakat terhadap kesejahteraan guna
memenuhi segala kebutuhan hidup.
2.
Karena kurang dan lambannya arus
globalisasi di desa karena terbatasnya teknologi yang merupakan perantara
penyebaran informasi, maka masyarakat desa akan membuat keadaan social
disekitarnya sebagai patokan mengenai kesejahteraan. Salah satu kesejahteraanya
karena masih banyaknya sumberdaya alam diperdesaan, adalah memiliki usaha
pengolahan suber daya alam tersebut sendiri. Untuk masyarakat kota,
kesejahteraan adalah mencapai kebutuhan tersier dengan mudah, sebagaimana yang
digambarkan daqlam arus globalisasi mengenai standarisasi hal yang ‘keren’
dimata dunia.
Label:
Cerita Tentang Sekolah,
Galeri Vinda
Belajar Gamelan Dengan Seniman Kraton di Michigan
Michigan, 2003
Vikra Vinda mengenal lebih jauh gamelan dan tari Jawa, bukan di Solo kampung ibu, tapi justeru waktu di Michigan. Kebetulan, ada Om Wasi Bantolo dan Tante Olivia yang mengajar gamelan dan tari Jawa di univ Michigan. Mereka orang hebat! Tante Oliv adalah penari kraton Solo, termasuk salah satu penari bedoyo (tari mistis exclusive untuk Raja). Dari tante Oliv ibu banyak tahu tentang kehidupan raja dan segala sisi gelap dibalik dindingnya. Kami menyebut tante Oliv dengan putrinya pak Mantan! maklum kembang desa anak pak Lurah! Vikra Vinda diajari gerakan basis tari Jawa. Susah ya?
Ini keseharian kami bersama mereka! Sekarang gantian ngenalin om Wasi. Kalau sering lihat wayang orang TV-RI, pasti sudah tidak asing lagi! Dia juga sering terlibat dalam balet Ramayana Prambanan, dan beberapa CD karya timnya. Di Michigan Om Wasi mengajar dan bikin project performance menarik "voice of earth" dimana banyak pihak ikut terlibat, termasuk kami dikit-dikit semangat bantuin. Makasih ya om dah sabar ngajarin Vikra yang nggak mau diam! Mereka sekarang punya sanggar di Solo. Om Wasi dulu juga penari kraton ! Belum lama ini mereka punya si kecil, dan kami lumayan agak sering nengok mereka. Kangen! Selamat paskah Om Wasi dan tante Oliv! Mana ayam bu Beternya?
Vikra Vinda mengenal lebih jauh gamelan dan tari Jawa, bukan di Solo kampung ibu, tapi justeru waktu di Michigan. Kebetulan, ada Om Wasi Bantolo dan Tante Olivia yang mengajar gamelan dan tari Jawa di univ Michigan. Mereka orang hebat! Tante Oliv adalah penari kraton Solo, termasuk salah satu penari bedoyo (tari mistis exclusive untuk Raja). Dari tante Oliv ibu banyak tahu tentang kehidupan raja dan segala sisi gelap dibalik dindingnya. Kami menyebut tante Oliv dengan putrinya pak Mantan! maklum kembang desa anak pak Lurah! Vikra Vinda diajari gerakan basis tari Jawa. Susah ya?
Ini keseharian kami bersama mereka! Sekarang gantian ngenalin om Wasi. Kalau sering lihat wayang orang TV-RI, pasti sudah tidak asing lagi! Dia juga sering terlibat dalam balet Ramayana Prambanan, dan beberapa CD karya timnya. Di Michigan Om Wasi mengajar dan bikin project performance menarik "voice of earth" dimana banyak pihak ikut terlibat, termasuk kami dikit-dikit semangat bantuin. Makasih ya om dah sabar ngajarin Vikra yang nggak mau diam! Mereka sekarang punya sanggar di Solo. Om Wasi dulu juga penari kraton ! Belum lama ini mereka punya si kecil, dan kami lumayan agak sering nengok mereka. Kangen! Selamat paskah Om Wasi dan tante Oliv! Mana ayam bu Beternya?
The Deadly Quake, What was it like?
Tahun 2002-2003, ayah pernah "nyantri" di Michigan Journalism Fellowship. Fellows, atau peserta program ini --dari Amerika, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah-- hingga saat ini terus keep in touch. Setiap akhir tahun, peserta bikin personal journal, untuk berbagi kabar. Termasuk bila ada peristiwa-peristiwa penting, seperti gempa di Jakarta Rabu lalu. Ini email ayah untuk temen-temennya:
Just want to say Hi..
Despite shocked, we are ok..
The deadly 7,3 SR earthquake yesterday, hit us just minutes before my tv station run its regular evening (now move earlier to becoma afternoon) program.
So we are in a rush.
We thought it just like other earthquake before. Light and last in second.
My office is perfectly in the top of 19 floors building. When it feels little bit longer than usual, and become bigger and wilder, people start screaming. Allahu Akbar! Some of us run and hyde under tables. Some run to emergancy stairs..
But some other, including me, have to go on, runing the reguler program.
"Where r u people?" One producer shout in in the studio. The PD (Program director) people --audioman, cameramen, an soon), run already.
The phone and celluler suddenly didnt work. I cant reach any of our correspondents in the areas near the epicentrum (it was in Tasikmalaya, still in West Java, around 400 km south-east Jakarta.
But my CDMA phone still worked. Yuni called from home.
"Yes, I am OK," I said.
Guys,
Hope you all weel and safe too...
Muchlis
---------------
Berikut beberapa respon dari temen-temen ayah:
Muchliss,
I am so glad to hear you and your family are O-K. I wondered if the quake was near you.
Did you ever do your newscast?
Yvonne Simon
[reply dari ayah]
Hi Yvonne..
Its 3.30 am here now. Just wake up, for sahur.. Meal before begining fasting..
Our newscast during the quake? The show must go on, you know it. So, we run the newscast, all about the quake still happening. Studio camera, for example take not only the anchor, but the ceiling too. We played vt on what going on in the newroom: how panic we are, peple runing, screaming, hiding under thr table..
We gather all information, by any mean. Calling anyone outside, correspondents whereever they are, reaching any guy from meteorology and geophisyc...and soon.
So messy. Because lack of studio cameramen, we use audioman to hold the camera..
Because fix line phone didn't work, the anchor had to call anyone directly from her cellular phone...
We did what we can.. :)
And anyhow the show went on..
Muchlis
respon lain:
From: French, Ron
To: Muchlis a rofik
Sent: Sep 3, 2009 9:31 PM
Subject: RE: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Hello Muchlis, so happy to hear you and your family are OK. I would have one of the people hiding under the tables!
I see Facebook updates from Yuni and your kids - I can't read them but I can tell they are doing well.
Love to all,
Ron
reply ayah:
Hi Ron..
I tried to hide too, but I found no more table left..
So I just did what I could, reciting any prayer.. But pretend to be calm..:)
Hope u, valerie and girls doing well, and always safe.
Love u all too..
tanggapan balik dari ron:
there was an interesting exchange on Sue Nelson's facebook page about your experience. An engineer responded that you were safer in a 19-story high-rise than a 5-story building during an earthquake - something about the waves in the shorter building matching the waves of the earthquake and making it much worse. skyscrapers normally survive earthquakes while shorter buildings to not. I didn't understand it, but thought it might be of some comfort..
tanggapan ayah lagi:
Higher, safer?
Hard to understand, but sound acceptable..:)
And yes, it give comfort.. And courious too.. So I have to share it to friends here..
balasan Ron lagi:
here was the message:
"Skyscrapers are usually Ok in quakes as they have a low NF, it is the mid rise ones of 5 storeys or so you should avoid as their NF matches that of the quake , and resonance occurs, which is not nice if you are in the building"
As far as I can tell from the Internet, NF stands for "near-fault ground motion"
It's all over my head
-------
From: Birgit Rieck 1
To: Muchlis a rofik
Sent: Sep 3, 2009 8:25 PM
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Dear Muchlis,
We are all so glad to hear that you are alright. We were talking about
you wondering how you and your family were doing.
On the 19th floor? What a place to be during an earthquake....
Love to you and Yuni and the children.
Birgit
------
From: Scott Huler
To: Muchlis a rofik
Sent: Sep 3, 2009 8:19 PM
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
So glad you are all okay, Muchlis -- we have been thinking of you.
Please give our love to Yuni and the children. Hope to see you
sometime soon!
Scott (and June and Louie and Gus)
------
From: Drew DeSilver
Date: Thu, 3 Sep 2009 00:11:20 -0700 (PDT)
To: Muchlis Ainurrafik
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Hi, Muchlis:
As soon as I heard about the quake on the radio (BBC World Service), I thought of you, Yuni and the kids. I'm very glad to hear you're all OK. We too live in an earthquake/tsunami zone, so I feel empathy when one hits elsewhere.
All best to you and the family,
Drew (Mr. Lisa Lednicer) DeSilver
--------
From: Andrew Finkel
Date: Thu, 3 Sep 2009 10:27:01 +0300
To: Muchlis Ainurrafik
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Goodness Gracious!
I am glad you and the family are fine. It's a threat we live with in Istanbul. Thanks for keeping us up today.
Love from us all
Andy, Caroline and Izzy
-------------
From: Sue Nelson
Hi there
So glad you¹re all OK.
How about working in a bungalow?
Sue
Sue Nelson
Writer and Broadcaster
Just want to say Hi..
Despite shocked, we are ok..
The deadly 7,3 SR earthquake yesterday, hit us just minutes before my tv station run its regular evening (now move earlier to becoma afternoon) program.
So we are in a rush.
We thought it just like other earthquake before. Light and last in second.
My office is perfectly in the top of 19 floors building. When it feels little bit longer than usual, and become bigger and wilder, people start screaming. Allahu Akbar! Some of us run and hyde under tables. Some run to emergancy stairs..
But some other, including me, have to go on, runing the reguler program.
"Where r u people?" One producer shout in in the studio. The PD (Program director) people --audioman, cameramen, an soon), run already.
The phone and celluler suddenly didnt work. I cant reach any of our correspondents in the areas near the epicentrum (it was in Tasikmalaya, still in West Java, around 400 km south-east Jakarta.
But my CDMA phone still worked. Yuni called from home.
"Yes, I am OK," I said.
Guys,
Hope you all weel and safe too...
Muchlis
---------------
Berikut beberapa respon dari temen-temen ayah:
Muchliss,
I am so glad to hear you and your family are O-K. I wondered if the quake was near you.
Did you ever do your newscast?
Yvonne Simon
[reply dari ayah]
Hi Yvonne..
Its 3.30 am here now. Just wake up, for sahur.. Meal before begining fasting..
Our newscast during the quake? The show must go on, you know it. So, we run the newscast, all about the quake still happening. Studio camera, for example take not only the anchor, but the ceiling too. We played vt on what going on in the newroom: how panic we are, peple runing, screaming, hiding under thr table..
We gather all information, by any mean. Calling anyone outside, correspondents whereever they are, reaching any guy from meteorology and geophisyc...and soon.
So messy. Because lack of studio cameramen, we use audioman to hold the camera..
Because fix line phone didn't work, the anchor had to call anyone directly from her cellular phone...
We did what we can.. :)
And anyhow the show went on..
Muchlis
respon lain:
From: French, Ron
To: Muchlis a rofik
Sent: Sep 3, 2009 9:31 PM
Subject: RE: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Hello Muchlis, so happy to hear you and your family are OK. I would have one of the people hiding under the tables!
I see Facebook updates from Yuni and your kids - I can't read them but I can tell they are doing well.
Love to all,
Ron
reply ayah:
Hi Ron..
I tried to hide too, but I found no more table left..
So I just did what I could, reciting any prayer.. But pretend to be calm..:)
Hope u, valerie and girls doing well, and always safe.
Love u all too..
tanggapan balik dari ron:
there was an interesting exchange on Sue Nelson's facebook page about your experience. An engineer responded that you were safer in a 19-story high-rise than a 5-story building during an earthquake - something about the waves in the shorter building matching the waves of the earthquake and making it much worse. skyscrapers normally survive earthquakes while shorter buildings to not. I didn't understand it, but thought it might be of some comfort..
tanggapan ayah lagi:
Higher, safer?
Hard to understand, but sound acceptable..:)
And yes, it give comfort.. And courious too.. So I have to share it to friends here..
balasan Ron lagi:
here was the message:
"Skyscrapers are usually Ok in quakes as they have a low NF, it is the mid rise ones of 5 storeys or so you should avoid as their NF matches that of the quake , and resonance occurs, which is not nice if you are in the building"
As far as I can tell from the Internet, NF stands for "near-fault ground motion"
It's all over my head
-------
From: Birgit Rieck 1
To: Muchlis a rofik
Sent: Sep 3, 2009 8:25 PM
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Dear Muchlis,
We are all so glad to hear that you are alright. We were talking about
you wondering how you and your family were doing.
On the 19th floor? What a place to be during an earthquake....
Love to you and Yuni and the children.
Birgit
------
From: Scott Huler
To: Muchlis a rofik
Sent: Sep 3, 2009 8:19 PM
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
So glad you are all okay, Muchlis -- we have been thinking of you.
Please give our love to Yuni and the children. Hope to see you
sometime soon!
Scott (and June and Louie and Gus)
------
From: Drew DeSilver
Date: Thu, 3 Sep 2009 00:11:20 -0700 (PDT)
To: Muchlis Ainurrafik
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Hi, Muchlis:
As soon as I heard about the quake on the radio (BBC World Service), I thought of you, Yuni and the kids. I'm very glad to hear you're all OK. We too live in an earthquake/tsunami zone, so I feel empathy when one hits elsewhere.
All best to you and the family,
Drew (Mr. Lisa Lednicer) DeSilver
--------
From: Andrew Finkel
Date: Thu, 3 Sep 2009 10:27:01 +0300
To: Muchlis Ainurrafik
Subject: Re: Java Deadly Earthquake: What was it like?
Goodness Gracious!
I am glad you and the family are fine. It's a threat we live with in Istanbul. Thanks for keeping us up today.
Love from us all
Andy, Caroline and Izzy
-------------
From: Sue Nelson
Hi there
So glad you¹re all OK.
How about working in a bungalow?
Sue
Sue Nelson
Writer and Broadcaster
Berlibur ke Rumah Sakit Jiwa (1)
Awalnya agak bergidik saat memasuki lorong-lorong RSJ di salah satu kota, yang terbayang adalah wajah orang gila yang tak terkontrol, menyeramkan dan menyerang. Tangan Vinda mencengkeram erat lengan ibunya dan mukanya pias pucat ketakutan. Ngapain liburan ke RSJ? Disamping kami ingin lebih jauh tahu dunia "gelap" RSJ, mempertebal spiritulitas anak-anak (dan kami sendiri tentunya), juga ingin ketemu direktur RSJ yang kebetulan berkorespondensi dg ayah untuk konsultasi psikiater yang terbaik untuk handle saudara yang selama ini menarik diri bersosialisasi, pendiam dan tidak punya gairah hidup. Rumitnya lagi, dia tidak percaya dg dunia medis dan anti obat farmacits.
Ketika masuk area RS, yang megah dan bersih itu, ayah bertemu dg direkturnya, kami bertiga ingin eksplorasi. Pertama ngobrol dg resepsionis, diceritakan bahwa penghuni RSJ 70 % laki-laki, usia produktif, kebanyakan karena tekanan ekonomi dan hentakan masalah (wah hebat ya perempuan lebih kenyal dan survive). Kami dibolehkan ke karantina, disana pasien yg baru, wajib tinggal disini untuk penenangan. Terlihat masih ada yang mengamuk, ada yang gemetar, ada yang ngoceh soal dangdut, ada yang ngajak kami ngobrol, ada yg pegang kuping melulu dan minta ditiup suaminya dan ada yang meringkuk tak berdaya. Yang jelas, karantina itu untuk mereka yang dianggap belum bisa mengontrol, buat yang agresif, ada yg tangan kakinya diikat dengan kain lembut dengan tempet tidur. Agak serem memang, tapi tidak seseram yang kami bayangkan. Disini keluarga wajib menunggu sampai pasien tenang, biasanya 2 hari. Tapi tergantung pada diagnosa, dimana pasien dan keluarga berulang-ulang ditest dg aneka pertanyaan.
Setelah tenang, pasien dipindah ke ruang perawatan dengan seragam seperti ini dlm gambar ini. Rata-rata kamar berisi (+-) 10-20 orang, tapi juga ada kamar VIP. Sengaja kami masuk ke kamar yang banyak pasiennya terutama dari keluarga miskin. Vinda menyerah memilih menunggu di ruang tamu karena ketakutan. Tapi ibu dan Vikra tetap masuk (walaupun akirnya Vikra keluar nemenin adiknya). Kami dibukakan pintu jeruji masuk bangsal itu, yang menjaga gerbang selain petugas juga pasien-pasien yang sudah dianggap sembuh dan diyakini tidak akan lari. Begitu masuk, kita disambut aneka wajah yang secara obyektif memang banyak yang menyeramkan. Ada yang muka lebam-lebam, kaki bekas pasung, kepala botak bekas luka, muka bengong tak komunikatif, ada yang sibuk sendiri nggak mau diam, ada yang ganteng, ada yg ramah nyebut RT RW rumahnya berulang-ulang seakan kita mau kerumahnya.
Ibu masuk membawakan makanan sekedarnya. Mereka langsung salaman, berebut makanan, ngajak ngobrol, ada juga yg pinjam HP untuk kontak keluarganya. Walaupun sedikit takut, ibu langsung membangun rasa aman dan langsung membuat lingkaran tak sengaja dg mereka. Mereka satu-persatu ibu ajak ngobrol dan mengalirlah cerita-cerita yang diluar dugaan dan mengharukan dibawah ini (baca bag 2: Cerita dibalik tembok RSJ):
Ketika masuk area RS, yang megah dan bersih itu, ayah bertemu dg direkturnya, kami bertiga ingin eksplorasi. Pertama ngobrol dg resepsionis, diceritakan bahwa penghuni RSJ 70 % laki-laki, usia produktif, kebanyakan karena tekanan ekonomi dan hentakan masalah (wah hebat ya perempuan lebih kenyal dan survive). Kami dibolehkan ke karantina, disana pasien yg baru, wajib tinggal disini untuk penenangan. Terlihat masih ada yang mengamuk, ada yang gemetar, ada yang ngoceh soal dangdut, ada yang ngajak kami ngobrol, ada yg pegang kuping melulu dan minta ditiup suaminya dan ada yang meringkuk tak berdaya. Yang jelas, karantina itu untuk mereka yang dianggap belum bisa mengontrol, buat yang agresif, ada yg tangan kakinya diikat dengan kain lembut dengan tempet tidur. Agak serem memang, tapi tidak seseram yang kami bayangkan. Disini keluarga wajib menunggu sampai pasien tenang, biasanya 2 hari. Tapi tergantung pada diagnosa, dimana pasien dan keluarga berulang-ulang ditest dg aneka pertanyaan.
Setelah tenang, pasien dipindah ke ruang perawatan dengan seragam seperti ini dlm gambar ini. Rata-rata kamar berisi (+-) 10-20 orang, tapi juga ada kamar VIP. Sengaja kami masuk ke kamar yang banyak pasiennya terutama dari keluarga miskin. Vinda menyerah memilih menunggu di ruang tamu karena ketakutan. Tapi ibu dan Vikra tetap masuk (walaupun akirnya Vikra keluar nemenin adiknya). Kami dibukakan pintu jeruji masuk bangsal itu, yang menjaga gerbang selain petugas juga pasien-pasien yang sudah dianggap sembuh dan diyakini tidak akan lari. Begitu masuk, kita disambut aneka wajah yang secara obyektif memang banyak yang menyeramkan. Ada yang muka lebam-lebam, kaki bekas pasung, kepala botak bekas luka, muka bengong tak komunikatif, ada yang sibuk sendiri nggak mau diam, ada yang ganteng, ada yg ramah nyebut RT RW rumahnya berulang-ulang seakan kita mau kerumahnya.
Ibu masuk membawakan makanan sekedarnya. Mereka langsung salaman, berebut makanan, ngajak ngobrol, ada juga yg pinjam HP untuk kontak keluarganya. Walaupun sedikit takut, ibu langsung membangun rasa aman dan langsung membuat lingkaran tak sengaja dg mereka. Mereka satu-persatu ibu ajak ngobrol dan mengalirlah cerita-cerita yang diluar dugaan dan mengharukan dibawah ini (baca bag 2: Cerita dibalik tembok RSJ):
Label:
Edu-tainment,
Lilin Kecil
Langganan:
Postingan (Atom)