Oleh: Vandana Mernisi
Tanpa disangka, tidak sampai 5 menit saat kami masih dibawah meja, guru masuk ke kelas
kita dan bersuara sangat lantang dan keras.
“BAGUS YA KALIAN! Bagus.. bagus!”
Kami gemetar, ia adalah Ibu Lala, guru matematika kelas 9 yang terkenal
baik dan sabar. Namun kali ini, ia sangat lantang dan terdengar
kekecewaan dalam suaranya. Pada saat itu juga kami mereasa sangat tidak
enak, lebih tidak enak dari mendengar guru jahat yang sedang marah.
Kami kemudian berdiri dan kami diisyaratkan untuk mendekatinya. Kami
pun berjalan perlahan ke arahnya. Ia memegang secarik kertas dan pulpen.
Tanpa banyak kata yang dilontarkan, kami bisa lihat dari matanya bahwa
ia sedang sangat marah. Ia menyuruh kita untuk tanda tangan dan menulis
nama lengkap kami di secarik kertas tersebut. Kemudian kami diperintahkan
untuk ke kelas 7.3 untuk memanfaatkan waktu yang tersisa cukup lama
untuk menunggu para lelaki selesai shalat. Kami serentak berjalan ke
kelas 7.3, semua mata tertuju pada kamis aat kami memasuki kelas.
Seluruh kakak kelas yang berlagak sedang mengisi materi karena ada guru
melihat kami dengan tatapan sangat sinis. Bahkan ada dari mereka yang
tertawa sangat meremehkan keluar dari mulutnya.
Kami sangat malu dan
kecewa pada diri kami sendiri. Kemudian setelah itu kami mendengarkan
materi mereka seperti biasa. Tidak ada yang mengungkit-ungkit lagi jadi
kami kira hukuman yang akan kami terima hanya itu saja, diperintahkan
untuk tanda tangan sampai kemudian pada pertengahan pelajaran terakhir,
Ibu Titin masuk kelas. Pada saat itu kami tahu bahwa inilah saatnya,
inilah hukuman nya.
Ibu titin masuk dan berbicara betapa kecewanya ia
dengan kami, para perempuan di kelas dan pada akhir ucapannya, kami
semua dipertintahkan ibu Titin untuk berdiri dan mengikuti Ibu Sunarmi,
guru agama kelas 9 yang baik namun memiliki muka yang sangat jutek dan
sangat tegas jika berurusan dengan kegiatan keagamaan seperti shalat
dll. Ia adalah orang yang biasa merapatkan shaf shalat, menyuruh kami
agar lekas wudhu, dll.
Kami berjalan ke gedung sebelah, kami tidak tahu
kemana sampai pada saat berjalan Putri berhenti dan mengigiti kukunya,
hal yang ia lakukan ketika gelisah. Saya tahu banyak tentangnya karena
memang kami teman sebangku dan sangat dekat.
“kenapa putt??”, Tanya saya sambil mengelus-elus pundaknya.
“vinnnn!! Ini kita tuh digiring ke gedung kelas 9! Kita mau diapaiiinnnn
vinnn?!” jawabnya dengan nada yang bergetar tanda hampir menangis.
“Udah tenang aja Put, tenang. Kita dihukum bareng-bareng ini” tambah
Stevie.
“Iya Put bener, udah yuk jalan lagi” jawab saya.
“Aduuhhhh gimana nihh kalo kita dibawa ke kelas 9”, tambah Nadhillah
dengan suara cemprengnya itu.
“Udah udah yuk gapapa kita bareng-bareng ini” jawab saya.
Semua anak perempuan di kelas saya mengangguk setuju walau kami tahu kami
pribadi satu-satu memang sangat takut pada saat itu. Kami berjalan
mengikutinya dan benar saja ia menuju ke suatu kelas anak kelas 9 dan ia
berhenti disana. Bu sunarmi mengayunkan tangannya tanda memerintahkan
kita masuk. Saya, Putri dan Stevie saling berpegangan tangan erat. Kami
semua berpegangan tangan dan menunduk. Kami masuk dan semua mata kakak
kelas tertuju pada kami.
Bu Sunarmi berdiri di samping kami dan mulai
berbicara,
“Jadi anak-anak, ini adik kelas kalian. Masih kelas 7. Masih kelas 7
loh.. tapi udah buat masalah. Masa tadi ngumpet di bawah meja biar gak
keputrian. Ibu sih gak masalah tapi kasian dong sama yang ngasih materi
dan teman-teman mereka menunggu kedatangan mereka. Anak-anak kelas 8
pada nyariin kalian karena aneh banget satu kelas kok bisa sampai gak
ada. Ngerepotin banyak pihak. Tuh apa pendapat kalian tuh..
"Coba kamu,
iya kamu. Apa alasan kamu gak ikut keputrian?”
Ia menunjuk Nadhilah yang kebetulan berdiri di pojok. Ia tampak kaget dan
bingung ingin berbicara apa sampai kata-kata itu keluar, yang seharusnya
tidak disampaikan disini.
“um.. ikut-ikut yang lain Bu. Abis kadang kakak kelas 8 nya suka ngisi
materi yang gak jelas Bu jadi kami juga males Bu.”
Kami semua bingung dan takut dengan jawabannya. Kami semua ditanya-tanya
dan mayoritas dari kami menjawab ikut ikut yang lain.
Akhirnya pada
saat giliran saya, saya menceritakan yang sebenarnya bahwa kami
kecapekan habis bersih-bersih kelas. Kakak kelas ada yang tertawa remeh,
ada yang prihatin ada yang tidak terlalu memperhatikan, banyak reaksi
dari mereka.
Kami dipermalukan. Saya sangat benci dengan hukuman ini.
Ibu Sunarmi sangat kejam menurut saya memojokkan kami seperti ini. Tidak
hanya kelas itu, sekitar hamper 10 menitan di kelas itu dipermalukan,
kami ke kelas sebelahnya, dan pada akhirnya kami dikirim di kelas 8.
Kelas yang mengisi materi kami hari itu yang kami bilang tidak jelas
materi nya. Putri menangis saat ia tahu akan dikirim ke kelas 8. Kami
bertemu salah satu kakak kelas 9 yang sangat baik. Ia menenangkan kami
bahkan, tidak memojokkan kami dan berbicara bahwa kami tidak usah takut
dengan kelas 8. Jika mereka bertingkah, diamkan saja perintahnya. Karena
mereka memang sperti itu. Kakak kelas 9 memang sangat baik di sekolah
kami. Putri selesai menangis dan kami ke kelas 8.
Belum lama kami
sampai dan disuguhkan pertanyaan-pertanyaan memojokan tentang betapa
beraninya kita bertingkah seperti itu, alasan kami berbuat hal tersebut,
dan lain-lain bel pun berbunyi. Bel pulang. Akhirnya kami tidak lama di
dalam kelas tersebut dan para kakak kelas 8 juga reaksinya tidak sesuai
dengan apa yang akan kami kira mereka akan jahat sekali. Mereka sedang
sibuk masing-masih dan mempersiapkan tasnya untuk pulang. Bel berbunyi,
kami keluar dari kelas itu dan digiring ke ruang guru dan membuat surat
pernyataan untuk tidak mengulangi hal itu lagi.
Kami kemudian tanda
tangan di buku pelanggaran dan saya menyuruh semua anak kelas saya untuk
meminta maaf kepada Ibu Titin yang telah kami kecewakan. Kepad Ibu
Sunarmi kami tidak minta maaf. Kami langsung balik ke kelas untuk pulang
karena memang kami sangat benci akan apa yang ia lakukan sebagai
hukuman untuk kami. Sangat tidak memikirkan apa yang akan kami rasakan.
Hari itu, kami semua setelah itu semua berakhir dan mengambil tas
di kelas hanya bisa tertawa dan geleng-geleng kepala dan sangat lega
ketika kami di kelas kelas 8, persidangan nya tidak berlangsung lama.
Kami merasa kapok tapi juga sedikit senang karena pengalaman tersebut.
Betapa sangat berharganya, dan tidak akan terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar