Bolos Yang Gagal (2)

Oleh: Vandana Mernisi

Tanpa disangka, tidak sampai 5 menit saat kami masih dibawah meja, guru masuk ke kelas kita dan bersuara sangat lantang dan keras.
“BAGUS YA KALIAN! Bagus.. bagus!”
Kami gemetar, ia adalah Ibu Lala, guru matematika kelas 9 yang terkenal baik dan sabar. Namun kali ini, ia sangat lantang dan terdengar kekecewaan dalam suaranya. Pada saat itu juga kami mereasa sangat tidak enak, lebih tidak enak dari mendengar guru jahat yang sedang marah. Kami kemudian berdiri dan kami diisyaratkan untuk mendekatinya. Kami pun berjalan perlahan ke arahnya. Ia memegang secarik kertas dan pulpen. Tanpa banyak kata yang dilontarkan, kami bisa lihat dari matanya bahwa ia sedang sangat marah. Ia menyuruh kita untuk tanda tangan dan menulis nama lengkap kami di secarik kertas tersebut. Kemudian kami diperintahkan untuk ke kelas 7.3 untuk memanfaatkan waktu yang tersisa cukup lama untuk menunggu para lelaki selesai shalat. Kami serentak berjalan ke kelas 7.3, semua mata tertuju pada kamis aat kami memasuki kelas. Seluruh kakak kelas yang berlagak sedang mengisi materi karena ada guru melihat kami dengan tatapan sangat sinis. Bahkan ada dari mereka yang tertawa sangat meremehkan keluar dari mulutnya.
Kami sangat malu dan kecewa pada diri kami sendiri. Kemudian setelah itu kami mendengarkan materi mereka seperti biasa. Tidak ada yang mengungkit-ungkit lagi jadi kami kira hukuman yang akan kami terima hanya itu saja, diperintahkan untuk tanda tangan sampai kemudian pada pertengahan pelajaran terakhir,
Ibu Titin masuk kelas. Pada saat itu kami tahu bahwa inilah saatnya, inilah hukuman nya.
Ibu titin masuk dan berbicara betapa kecewanya ia dengan kami, para perempuan di kelas dan pada akhir ucapannya, kami semua dipertintahkan ibu Titin untuk berdiri dan mengikuti Ibu Sunarmi, guru agama kelas 9 yang baik namun memiliki muka yang sangat jutek dan sangat tegas jika berurusan dengan kegiatan keagamaan seperti shalat dll. Ia adalah orang yang biasa merapatkan shaf shalat, menyuruh kami agar lekas wudhu, dll.
Kami berjalan ke gedung sebelah, kami tidak tahu kemana sampai pada saat berjalan Putri berhenti dan mengigiti kukunya, hal yang ia lakukan ketika gelisah. Saya tahu banyak tentangnya karena memang kami teman sebangku dan sangat dekat. “kenapa putt??”, Tanya saya sambil mengelus-elus pundaknya. “vinnnn!! Ini kita tuh digiring ke gedung kelas 9! Kita mau diapaiiinnnn vinnn?!” jawabnya dengan nada yang bergetar tanda hampir menangis.
“Udah tenang aja Put, tenang. Kita dihukum bareng-bareng ini” tambah Stevie. “Iya Put bener, udah yuk jalan lagi” jawab saya.
“Aduuhhhh gimana nihh kalo kita dibawa ke kelas 9”, tambah Nadhillah dengan suara cemprengnya itu.
“Udah udah yuk gapapa kita bareng-bareng ini” jawab saya.
Semua anak perempuan di kelas saya mengangguk setuju walau kami tahu kami pribadi satu-satu memang sangat takut pada saat itu. Kami berjalan mengikutinya dan benar saja ia menuju ke suatu kelas anak kelas 9 dan ia berhenti disana. Bu sunarmi mengayunkan tangannya tanda memerintahkan kita masuk. Saya, Putri dan Stevie saling berpegangan tangan erat. Kami semua berpegangan tangan dan menunduk. Kami masuk dan semua mata kakak kelas tertuju pada kami.
Bu Sunarmi berdiri di samping kami dan mulai berbicara, “Jadi anak-anak, ini adik kelas kalian. Masih kelas 7. Masih kelas 7 loh.. tapi udah buat masalah. Masa tadi ngumpet di bawah meja biar gak keputrian. Ibu sih gak masalah tapi kasian dong sama yang ngasih materi dan teman-teman mereka menunggu kedatangan mereka. Anak-anak kelas 8 pada nyariin kalian karena aneh banget satu kelas kok bisa sampai gak ada. Ngerepotin banyak pihak. Tuh apa pendapat kalian tuh..
"Coba kamu, iya kamu. Apa alasan kamu gak ikut keputrian?” Ia menunjuk Nadhilah yang kebetulan berdiri di pojok. Ia tampak kaget dan bingung ingin berbicara apa sampai kata-kata itu keluar, yang seharusnya tidak disampaikan disini. “um.. ikut-ikut yang lain Bu. Abis kadang kakak kelas 8 nya suka ngisi materi yang gak jelas Bu jadi kami juga males Bu.”
Kami semua bingung dan takut dengan jawabannya. Kami semua ditanya-tanya dan mayoritas dari kami menjawab ikut ikut yang lain.
Akhirnya pada saat giliran saya, saya menceritakan yang sebenarnya bahwa kami kecapekan habis bersih-bersih kelas. Kakak kelas ada yang tertawa remeh, ada yang prihatin ada yang tidak terlalu memperhatikan, banyak reaksi dari mereka.
Kami dipermalukan. Saya sangat benci dengan hukuman ini. Ibu Sunarmi sangat kejam menurut saya memojokkan kami seperti ini. Tidak hanya kelas itu, sekitar hamper 10 menitan di kelas itu dipermalukan, kami ke kelas sebelahnya, dan pada akhirnya kami dikirim di kelas 8. Kelas yang mengisi materi kami hari itu yang kami bilang tidak jelas materi nya. Putri menangis saat ia tahu akan dikirim ke kelas 8. Kami bertemu salah satu kakak kelas 9 yang sangat baik. Ia menenangkan kami bahkan, tidak memojokkan kami dan berbicara bahwa kami tidak usah takut dengan kelas 8. Jika mereka bertingkah, diamkan saja perintahnya. Karena mereka memang sperti itu. Kakak kelas 9 memang sangat baik di sekolah kami. Putri selesai menangis dan kami ke kelas 8.
Belum lama kami sampai dan disuguhkan pertanyaan-pertanyaan memojokan tentang betapa beraninya kita bertingkah seperti itu, alasan kami berbuat hal tersebut, dan lain-lain bel pun berbunyi. Bel pulang. Akhirnya kami tidak lama di dalam kelas tersebut dan para kakak kelas 8 juga reaksinya tidak sesuai dengan apa yang akan kami kira mereka akan jahat sekali. Mereka sedang sibuk masing-masih dan mempersiapkan tasnya untuk pulang. Bel berbunyi, kami keluar dari kelas itu dan digiring ke ruang guru dan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi hal itu lagi.
Kami kemudian tanda tangan di buku pelanggaran dan saya menyuruh semua anak kelas saya untuk meminta maaf kepada Ibu Titin yang telah kami kecewakan. Kepad Ibu Sunarmi kami tidak minta maaf. Kami langsung balik ke kelas untuk pulang karena memang kami sangat benci akan apa yang ia lakukan sebagai hukuman untuk kami. Sangat tidak memikirkan apa yang akan kami rasakan. Hari itu, kami semua setelah itu semua berakhir dan mengambil tas di kelas hanya bisa tertawa dan geleng-geleng kepala dan sangat lega ketika kami di kelas kelas 8, persidangan nya tidak berlangsung lama. Kami merasa kapok tapi juga sedikit senang karena pengalaman tersebut.
Betapa sangat berharganya, dan tidak akan terlupakan.

Tidak ada komentar: