Studying Mom: Struggle and Survival

Hati Ibu-Ibu yang saling berbagi
Satu kali aku terhenyak ada satu posting dari teman, seorang ibu muda yang juga sedang sekolah S3 di Leiden. Dia bertanya bagaimana menghadapi anak yang ngambek tidak mau bicara di telphon saat dia rindu ingin bicara dengan buah hatinya :"anak saya, hampir 3 tahun, semenjak saya tinggal 3 minggu lalu, hampir tidak mau ngomong sama saya. 1 minggu pertama dia masih mau ngomong menanyakan kapan bundanya pulang. Setelah itu susah sekali mengajak dia bicara. Sepertinya dia marah karena ditinggal. Ada yang pernah punya pengalaman sama? Gimana mengatasinya?" Leiden , 21 Maret 08.

Aku langsung tinggalin thesisku...detik itu juga aku langsung reply, bukan jariku yang mengetik..tapi emosi masa laluku yang bicara...

"Dulu waktu ambil master usia anak saya Vikra (cowok) 6 tahun dan Vinda 3 tahun. Ini kutipan surat suami saya waktu saya berangkat th 1999 : "Vikra sesenggukan dibalik kaca airport tempat kita melambai-lambai. Lalu adiknya bilang: kakak telat, tadi ibu ada nggak nangis". Setelah saya selesai, setahun kemudian gantian suami sekolah, ini email dia dari Michigan: "bilang ke anak-anak, Ayah pengen meluk mereka lebih lama, tapi juga takut ketahuan mereka ayahnya nangis. Jadi, tolong pelukin lagi. Bilang waktu di bandara ayah pengen meluk mereka lebih lammmaaaa... Juga meluk ibunya... (Transit di Singapore,Sat, 31 Agt 02).

Iya..selalu nelongso kalau ingat beginian. Apalagi saat Vinda di TK ditanya gurunya: "yang hari ini merasa senang ayo tunjuk tangan", semua tunjuk tangan kecuali Vinda. Kenapa? tanya gurunya, "kangen ibu". Lalu pas saya pulang, pernah dia bawa teman-temannya masuk rumah dan buka pintu kamar sambil mamerin ketemen-temennya: "aku juga punya ibu". Sedih ya?

Tips perkuat mental dan menyayang jarak jauh:

Untung ada ibu saya yang skr sudah almarhumah bilang: "wis to..atine ditetegne, yen awakmu susah, mesakke bocah-bocah yo melu susah". (udah to...tegarin hati, kalau kamu susah, anak-anak juga susah). Mengingat kalimat itu membuat saya punya energi, dari jauh yang bisa dilakukan adalah bagaimana mereka anak-anak merasa dicinta. Jadi saya rajin kirim postcard lucu-lucu, kalau ada yang pulang selalu titip sesuatu yang membuat mereka senang, beasiswa habis untuk nelphon (saat thn 99, telfon masih mahal 12 gulden hanya untuk 25 menit)dan pulang 6 bulan sekali sampai harus bekerja jadi waiter di pasar malam dan pernah minjam uang ke teman juga untuk bisa tiket (baru kali ini saya cerita, karena saya orang yang pada dasarnya malu dan tidak bisa pinjam uang). Saya berusaha untuk selalu "hadir"ditengah mereka, saya coba rekam suara mendongeng atau mengajar ngaji, kadang saya kirim gambar, atau ditelphon ngajarin nyanyi dan pernah juga sepanjang telphon cuma dengerin anak nangis. Intinya anak harus merasa dirinya disayang dengan cara yang mudah untuk mereka fahami.

Keluarga segala-galanya
Lalu posisi pasangan atau keluarga yang handle anak sangat penting. Bagusnya, suamiku sangat easy going, membuat semuanya wajar dan tidak menganggap berjauhan adalah penderitaan yang berlebihan, karena masih bisa saling sayang. Lalu kami berdua saling berjuang, gimana sekeluarga punya pengalaman berimbang. jadi pas suami sekolah, dia boyong kami kesana, dan pas aku disini juga bawa mereka kesini (walaupun hanya 3 bulan). Tapi perasaan punya pengalaman berimbang ini penting, sehingga mereka merasa bahwa "penderitaan" mereka berbuah pengalaman mengasikkan, mereka bisa menyerap pengalaman dari mengintip sudut-sudut dunia.
Makanya selama Phd ini, program theori 1 tahun, aku kebut 6 bulan, jadi riset di Indonesia yang tadinya 1 thn, jadi 1, 6 bulan (bahkan lebih, karena sakit jadi 1,8 bulan). Nulis juga setiap 3 bulan sekali pulang, nggak mikir uang (dulu dibiayai kantor, sekarang udah sendiri). Pokoknya aku nggak sayang uang untuk kasih sayang..uang bisa dicari, tapi orang-orang tercinta merasa dicinta itu mahal dan lebih berharga dari segalanya. (Jadi program PHD yang seakan lama 4 tahun ini, kalau ditotal aku hanya 1 thn 3 bulan berjauhan dari mereka.

Tapi yang juga penting, gimana kebijakan Belanda ini lebih manusiawi untuk memungkinkan bawa keluarga..kasihan mereka. Moga-moga sharing ini sedikit berguna..

yunich1@yahoo.com

Tidak ada komentar: