DEMOKRASI INDONESIA
By: Vandana Mernisi (XI Ipa 2)
Demokrasi di Indonesia belum terlaksana dengan maksimal. Dengan berbagai aspek esensial yang belum seimbang, maka demokrasi Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Bisa kita lihat jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 29,8 Juta orang, yang merupakan lebih dari 12,36% jumlah penduduk Indonesia. Para ilmuwan telah menyatakan bahwa oada hakikatnya tidak ada demokrasi dikalangan orang miskin. Ironisnya,hal ini menjadi ajang pengamalan korupsi dalam bentuk “sogok atau suap” untuk meraih dukung pemilih orang-orang miskin dalam pemilu, yang tidak sedikit suaranya (12,36 %).
Hal lain, Indonesia ini terkenal dengan budayanya yang paling menonjol dari jawa. Mayoritas penduduknya yaitu orang jawa, sehingga mereka yang bukan orang jawa pun juga mengalami akulturasi atuau pengaruh budaya dari jawa ini. Salah astu contohnya adalah budaya transaksional, dimana Artinya, siapa yang membeli barang dan membayar, dialah yang akan diberi barang. Dalam pengamalan demokrasi, siapa yang memberi uang dan sembako kepada mereka, dia yang dipilih. Hal ini menimbulkan proses mutualistik dari kedua belah pihak, dimana mereka si miskin mendapatkan uang dan calon legislative dapat menimba dukungan untuk jabatanya kelak. Selain itu, saya lihat dari website seseorang terhadap penilitiannya tentang siapa yang berkesempatan lebih besar untuk di pemerintahan. Dan hasilnya orang jawa lah yang akan lebih besar kesempatanya karena mereka masyarakat jawa akan lebih memilih calon tersebut bukan dari prestasi yang dibuatnya, melainkan dari backgroundnya yang sama-sama orang jawa yang (menurut mereka) satu nasib, satu rasa, dapat membawa perubahan.
Masalah lain yang ditimbulkan dari kemiskinan yang berdampak pada demokrasi Indonesia adalah pendidikan. Dengan pendidikan, seorang manusia dapat membuka pikirannya pada hal lain selain dalam hidupnya. Bereksperimen untuk memecahkan suatu masalah yang bukan hanya dari hidupnya. Demokrasi, bukanlah hal yang penting untuk diperhatikan oleh orang miskin yang memiliki lebih banyak hal kompleks untuk diperhatikan dalam bertahan hidup. Inilah yang terjadi pada Indonesia yang pemerataan edukasinya tidak seimbang. Dulu, pada masa orde baru, dibangun banyak sekolah negeri untuk membantu rakyat kecil mendapatkan edukasi. Namun yang terjadi saat ini adalah, sekolah negeri menjadi sekolah yang kompeten sehingga susah untuk dimasuki. Hal ini menimbukan dampak pada orang miskin yang seharusnya mengenyam pendidikan disana. Mereka yang tidak mendapatkan makanan bergizi tiap hari, diadu dengan orang-orang punya yang juga ingin masuk sekolah tersebut. Tentulah anak-anak dari orang punya yang bergizi tinggi inilah yang berpeluang lebih besar masuk dan anak-anak miskin terpaksa harus masuk sekolah swasta yang tidak murah. Yang terjadi adalah mereka tidak sekolah, tidak dapat bereksplorasi luas dalam pikirannya, buta politik dan berdampak pada demokrasi yang seharusnya menjadi hak mereka dan peluang bagi mereka untuk perbaikan hidup.
Permasalahan lain selain kemiskinan adalah maraknya media yang menampilkan berita berita buruk pemerintahan untuk mendongkrak popularitas serta keuntungan besar untuk pihak medianya sendiri. Seperti kita tahu, rakyat Indonesia haus akan tontonan. Diantara tontonan yang berita yang baik-baik dibanding berita yang buruk, berita yang buruk lah yang lebih menarik dibaca atau ditonton oleh rakyat. Sehingga yang terjadi adalah, secara tidak langsung media merubah paradigma masyarakat terhadap pemerintahan, atau mereka calon-calon eksekutif atau legislatif. Dengan berita buruk tersebut, masyarakat yang sehrusnya memiliki otoritas tertinggi dalam pemerintahan, menjadi acuh dan tidak peduli terhadap politik Indonesia yang terlalalu sering (mereka lihat) buruknya.
Kesimpulannya, demokrasi di Indonesia belum terlaksana dengan baik karena masih terjadi ketidaksetimbangan dimana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar