Obrolan direbut sama cowok 37 tahunan yang tambun, wajah memelas dan pake bahasa Jawa timuran dia ngadu: "mbak, awake dewek iki salah opo ya, kok kita dibuang sama sodara-sodara kita disini. Paling banter kita kan cuma ngomong sendiri, gak pernah kita ganggu mereka, gak ngerugiin mereka. Kita disini dibuang mbak, dihukum. Mereka gak mau diganggu, malu sama kita". Lalu ibu elus pundak dia, meyakinkan bahwa itu nggak bener, sodara-sodaranya pasti pingin dia sembuh.
Cowok yang dipojok kelihatan antusias mau ngomong, badannya agak maju pingin didengar. Lalu ibu tanya: sampean krasan tah nang kene?. Langsung spontan dia jawab"aku krasan mbak nang kene". "Lho, ngopo krasan"? tanya ibu dg muka antusias. "mbak, masalahe nak nang omah aku dibelok/dipasung. Nang kene enggak, banyak temennya". Ibu tanya; "udah berapa kali mlebu kene". "wis gak iso diitung mbak" jawabnya jujur.
Sambil ngobrol, memang sesekali ada cowok yang melintas begitu saja sambil ngasih genggaman kertas dilipat, ibu buka dg GR kirain ada tulisan khusus, rupanya cuma bungkus rokok lecek, nggak ada apa-apanya. Lalu ada juga yang masih mungut bungkus teh kotak yang sudah di tong sampah untuk dihisap padahal sudah habis. Lalu ada lagi yang merayu pinjam HP mau ngontak saudaranya minta pulang. Tapi petugas mengerling ke ibu untuk tidak ngasih HP. Ibu antara tidak tega, tapi bilang pulsa habis. Begitu omongan nyinggung soal HP, ada satu lagi juga nitip sms biar dikirim ke saudaranya untuk jemput, pas ibu tanya ke petugasnya dibolehkan, ibu akhirnya sms pas diluar, biar yg sebelumnya tidak tersinggung.
Lalu ada cowok tinggi botak yang kepalanya banyak luka, mendekat. Agak risih, dan takut juga kalau diapain, padahal pintu bangsal terkunci jeruji, dan kita seakan terperangkap didalam dengan puluhan mereka, cowok semua (bangsal cewek terpisah). Tapi cowok ini tidak menyentuh sama sekali (dalam hati, orang yang kita anggap gila aja bisa sopan dan jauh dari sikap melakukan pelecehan seksual). Lalu ibu tanya: "sampean pie critane kok sampe sini?". Dg senyum ikhlas dia cerita "Jarene/kata guruku, seko cilik, SD, aku suka ngajak ngomong sendiri pohon petai Cina". "lho kok iso?". "Embuh mbak, aku suenenggg... prosoku/rasaku pohon iku uapik tenan. Aku juga seneng lihat matahari lama-lama. Yo embuh, opo sebab-e".
Yang menarik, info dari RS, lebaran kali ini semakin sedikit pasien. Padahal dulu-dulu, setiap lebaran penuh pasien dadakan, karena banyak keluarga yang memilih membuang /menitipkan anggota keluarganya karena gengsi saat banyak tamu lebaran, dan diambil seusai lebaran. Tapi sekarang orang mulai sadar, bahwa kunci sembuh orang yang dianggap gila adalah rasa dicinta, bebas tekanan, dan harus dianggap seperti orang normal. RSJ bukan buangan, tapi memang untuk menyembuhkan. Dan konon pemerintah mulai memberi anggaran layak untuk rumah sakit yang selama ini menjadi momok sangkar "hantu". Ahh...liburan yang berbeda, Rumah sakit yang penuh keramahan dengan jiwa-jiwa yang harus direngkuh dan diselamatkan. Sudah saatnya, tidak menstigma mantan pasien RSJ, mereka sama seperti mantan pasien jantung... yang bisa sembuh atau kambuh. Mereka adalah kita juga.
2 komentar:
jeng yuni..tulisan tentang RSJ ini 'dalam'dan menohok rasa. Semoga kita yang merasa'waras'memang benar-benar punya jiwa yang penuh cinta untuk bersambungrasa dengan setiap nyawa...
makasih juga jeng Leta, jeng Tarian, jeng Elle, jeng Rianti, jeng tari, jeng Anti. Namanya bagus, mau di pelintir jadi jeng lentera juga tetep bagus. Makasih sudah berkunjung dan ada tetes kecil yang menyentuh relung nurani jeng yang cantik hati ini. Sukses ya..
Posting Komentar