Kalau ke pet shop, pasti koleksi baju kucing nggak banyak. Kalau ke butik kucing, selain mahal kok berlebihan amat rasanya. Jadi memang kreatifitas itu mahal rupanya. Nah, karena si Kuba (Teni) nurut banget dan menikmati dibajuin, mulai deh nafsu mendisain dan membuat baju untuk Kuba jadi tersalur (karena ibu gak suka nonton TV, jadi relaksasinya ya bikin beginian). Cakep kan?



Berlibur ke Rumah Sakit Jiwa (1)
Kami masuk area RS yang megah dan bersih itu, saat ayah bertemu dg direkturnya, kami bertiga ingin eksplorasi. Pertama ngobrol dg resepsionis, diceritakan bahwa penghuni RSJ 70 % laki-laki, usia produktif, kebanyakan karena tekanan ekonomi dan hentakan masalah (wah hebat ya perempuan). Kami dibolehkan ke karantina, disana pasien yg baru, wajib tinggal disini untuk penenangan. Terlihat masih ada yang mengamuk, ada yang gemetar, ada yang ngoceh soal dangdut, ada yang ngajak kami ngobrol, ada yg pegang kuping melulu dan minta ditiup dan ada yang meringkuk tak berdaya. Yang jelas, karantina itu untuk mereka yang dianggap belum bisa mengontrol, ada yg tangan kakinya diikat dengan kain lembut dengan tempet tidur. Agak serem memang, tapi tidak seseram yang kami bayangkan. Disini keluarga wajib menunggu sampai tenang, biasanya 2 hari. Tapi tergantung pada diagnosa, dimana pasien dan keluarga berulang-ulang ditest dg aneka pertanyaan.
Ibu masuk membawakan makanan sekedarnya. Mereka langsung salaman, berebut makanan, ngajak ngobrol, ada juga yg pinjam HP untuk kontak keluarganya. Walaupun sedikit takut, ibu langsung membangun rasa aman dan langsung membuat lingkaran tak sengaja dg mereka. Mereka satu-persatu ibu ajak ngobrol dan mengalirlah cerita-cerita yang diluar dugaan dan mengharukan dibawah ini (baca bag 2: Cerita dibalik tembok RSJ):
Label:
Edu-tainment,
Lilin Kecil
Cerita dibalik tembok RSJ (2)
Obrolan direbut sama cowok 37 tahunan yang tambun, wajah memelas dan pake bahasa Jawa timuran dia ngadu: "mbak, awake dewek iki salah opo ya, kok kita dibuang sama sodara-sodara kita disini. Paling banter kita kan cuma ngomong sendiri, gak pernah kita ganggu mereka, gak ngerugiin mereka. Kita disini dibuang mbak, dihukum. Mereka gak mau diganggu, malu sama kita". Lalu ibu elus pundak dia, meyakinkan bahwa itu nggak bener, sodara-sodaranya pasti pingin dia sembuh.
Cowok yang dipojok kelihatan antusias mau ngomong, badannya agak maju pingin didengar. Lalu ibu tanya: sampean krasan tah nang kene?. Langsung spontan dia jawab"aku krasan mbak nang kene". "Lho, ngopo krasan"? tanya ibu dg muka antusias. "mbak, masalahe nak nang omah aku dibelok/dipasung. Nang kene enggak, banyak temennya". Ibu tanya; "udah berapa kali mlebu kene". "wis gak iso diitung mbak" jawabnya jujur.
Sambil ngobrol, memang sesekali ada cowok yang melintas begitu saja sambil ngasih genggaman kertas dilipat, ibu buka dg GR kirain ada tulisan khusus, rupanya cuma bungkus rokok lecek, nggak ada apa-apanya. Lalu ada juga yang masih mungut bungkus teh kotak yang sudah di tong sampah untuk dihisap padahal sudah habis. Lalu ada lagi yang merayu pinjam HP mau ngontak saudaranya minta pulang. Tapi petugas mengerling ke ibu untuk tidak ngasih HP. Ibu antara tidak tega, tapi bilang pulsa habis. Begitu omongan nyinggung soal HP, ada satu lagi juga nitip sms biar dikirim ke saudaranya untuk jemput, pas ibu tanya ke petugasnya dibolehkan, ibu akhirnya sms pas diluar, biar yg sebelumnya tidak tersinggung.
Lalu ada cowok tinggi botak yang kepalanya banyak luka, mendekat. Agak risih, dan takut juga kalau diapain, padahal pintu bangsal terkunci jeruji, dan kita seakan terperangkap didalam dengan puluhan mereka, cowok semua (bangsal cewek terpisah). Tapi cowok ini tidak menyentuh sama sekali (dalam hati, orang yang kita anggap gila aja bisa sopan dan jauh dari sikap melakukan pelecehan seksual). Lalu ibu tanya: "sampean pie critane kok sampe sini?". Dg senyum ikhlas dia cerita "Jarene/kata guruku, seko cilik, SD, aku suka ngajak ngomong sendiri pohon petai Cina". "lho kok iso?". "Embuh mbak, aku suenenggg... prosoku/rasaku pohon iku uapik tenan. Aku juga seneng lihat matahari lama-lama. Yo embuh, opo sebab-e".
Yang menarik, info dari RS, lebaran kali ini semakin sedikit pasien. Padahal dulu-dulu, setiap lebaran penuh pasien dadakan, karena banyak keluarga yang memilih membuang /menitipkan anggota keluarganya karena gengsi saat banyak tamu lebaran, dan diambil seusai lebaran. Tapi sekarang orang mulai sadar, bahwa kunci sembuh orang yang dianggap gila adalah rasa dicinta, bebas tekanan, dan harus dianggap seperti orang normal. RSJ bukan buangan, tapi memang untuk menyembuhkan. Dan konon pemerintah mulai memberi anggaran layak untuk rumah sakit yang selama ini menjadi momok sangkar "hantu". Ahh...liburan yang berbeda, Rumah sakit yang penuh keramahan dengan jiwa-jiwa yang harus direngkuh dan diselamatkan. Sudah saatnya, tidak menstigma mantan pasien RSJ, mereka sama seperti mantan pasien jantung... yang bisa sembuh atau kambuh. Mereka adalah kita juga.
Langganan:
Postingan (Atom)