Selain hal diatas, prinsip mendasar lain, jangan ada pembakuan peran dan jangan biarkan ada stratifikasi peran satu lebih tinggi dari yang lain. Tanpa sadar kita orang tua masih rajin mendendangkan "habis mandi kutolong ibu membersihkan tempat tidurku" (emang bersih-bersih temapt tidur kerjaan ibu? kenapa tidak dilihat sebagai perkerjaan dan kebutuhan bersama atau kebutuhan si anak itu sendiri). Atau kita masih senang bilang; "untung punya anak perempuan jadi ada yang bantu-bantu". Tak sadar bahwa pembakuan dan pemisahan tugas ke anak laki-laki dan perempuan ini bisa merugikan mereka di kemudian hari. Pernah ada kawan ibu di Belanda, sekitar thn 2002, seorang bapak urung jadi PhD gara-gara tak sanggup bertahan melayani dirinya sendiri seperti memasak, mencuci, belanja dll.Dia menganggap dirinya rendah dan menderita dengan itu semua. Padahal mendorong anak baik laki-laki dan perempuan untuk latihan membantu dirinya dengan pekerjaan diatas itu penting, sesederhana apapun. Tapi juga jangan dicegah kalau ada anak perempuan yang hobi masak atau bikin kue..yang jelas keduanya didorong dan diberi contoh. Ada baiknya nggak ayah atau ibu membuat dapur jadi ajang bersama. bukan hanya space perempuan! Sehingga anak dapat contoh kongkrit bahwa laki-laki masuk dapurpun akan tetap keren!!.
Sementara pekerjaan yang secara sosiologis diidentikkan dengan kerjaan maskulin seperti mengecat, potong rumput,cuci mobil... tetep manis aja tuh dilakukan oleh anak cewek dan kita ibunya juga kasih contoh bisa melakukannya. Atau apa masalahnya kalau anak cowok ikut bikin kue atau menjahit? Toh itu penting misalnya untuk bisa memasang emblem atau kancing dll. Memasak buat anak cowok juga penting diajari, jangan sampai rumah terbakar atau kaki dia ketumpahan minyak goreng gara-gara anak laki-laki kita tidak tahu tehnik memasak yang aman.
Lho, lalu apa beda laki-laki dan perempuan? Kekhawatiran yang sering muncul, lalu apa nanti anak laki-laki nggak jadi kecewek-cewekan atau sebaliknya? Paling ekstrem apa nanti nggak jadi banci?? Tak perlu khawatir sama sekali. Kita tidak akan membuat manusia laki dan perempuan menjadi sama sebangun sejenis!! Kita hanya ingin membuat setara dan adil. Jadi identitas atau sifat atau peran yang tidak akan berdampak pada ketidak adilan, ya biarkan saja melekat di masing-masing. Misalnya anak perempuan pakai anting, dandan, anggun atau feminin. Tapi yang penting jangan sampai bilang bahwa anak perempuan harus anggun. Juga jangan kita menanamkan bahwa tubuh anak perempuan adalah objek. Misalnya menyuruh menutup bagian tubuh tertentu karena alasan tubuhmu "aurat", akan membuat anak merasa tubuhnya adalah objek. Lebih baik pakai alasan, pakai baju yang sopan nak, kalau kamu di wilayah aman atau dirumah, bebas pakai baju yang A atau yang B. Lalu anak cowok bergaya gagah, rada macho-macho..ya biarkan aja!! Yang penting kalau feminitasnya membuat dia manja tak mandiri dan lemah..atau kemachoan itu membuat cowok dominan dan kasar, ya rubah! Laki-laki dan perempuan itu perlu punya sikap feminin dan maskulin. Misalnya laki-laki penting untuk punya sifat feminin juga, seperti melankolis, tergantung, sementara perempuan juga perlu punya sifat tegas dan rasional. Yang penting meletakkan sifat-sifat itu pada kontek yang tepat dan fleksible. " Bicara dulu! apa masalahnya baru boleh nangis" ! Begitu kami selalu mengajari anak terutama anak perempuan untuk tidak cengeng. Jangan biarkan nangis dulu,ajak untuk rasional dulu, tetapi nangis sebagai ekspresi sedih tetap perlu, termasuk anak laki-laki mau nangis nggak masalah. Karena larangan menangis bagi anak laki-laki itu bisa juga mengganggu mekanisme psikologisnya dan ujung-ujungnya mengundang masalah jantung. Tuhan kasih air mata untuk seluruh manusia (bukan hanya perempuan), untuk menumpahkan masalah mereka biar beban hati meleleh.Adil gender sebagai istilah bisa dari mana saja, tetapi sebagai spirit keadilan adalah milik semua manusia, milik kita, milik anak kita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar